Antologi kata; Analogi rasa; Jemari bersabda.
Lelaki itu mengarungi senja, sampai subuh pun tak kuasa menangguk nyinyiran gulita yang segera memadam, kecuali di lorong-lorong pusat semesta yang tak terjamah badai para juru damai.
Ketika senja tak lagi ganjil, sesekali karungnya pun disingkap, jangan-jangan senja telah masuk ke dalam. Meski sarung tetap yang itu itu juga, menemani memunguti ujaran ujaran benci yang semakin menjadi barang berharga, tiada tertulis harganya. Tidak seperti mutiara, berapa pun nilai karat tetap saja terbeli. Harganya telah terpajang terang di tempat pedagang barang benda berharga.
Lelaki itu semakin menjadi jadi, ribuan senja diambilnya satu persatu sekedar tahu berapa karung sudah yang berhasil dikarungi. Meski dia mulai tercerahkan bahwa usahanya tak mampu untuk beli apa-apa, yang ia pikirkan hanya bagaimana menyambung nyawa dari detik ke detik.
Bagi sebagian orang, memilih untuk berkomitmen sangat berat. Ada juga yang menganggap komitmen adalah hal yang mudah. Aku, adalah sebagian orang yang menganggap itu berat.
Bagaimana tidak, di hari pertama kita bersama, aku harus berdamai dengan orang aneh sepertimu, yang dengan caramu memencet pasta gigi yang dari tengah itu. Sangat aneh! Kemudian, aku harus menghela napas lebih panjang saat kau meletakkan handuk di atas kasur busuk yang bertahun-tahun lalu sudah kugunakan. Apakah tidak makin busuk kasurnya? Hhhhh..
Selera musikmu yang sungguh berbeda jauh, meme yang terkadang bagiku lucu, bagi mu tidak. Berisikmu menonton film hingga larut malam pun sangat mengganggu jam tidurku!
Berdebat denganmu hanya akan membuat lelah, karena kau tidak pernah menyelesaikan segala pertanyaan yang ku lontarkan dalam emosi. Bagaimana tidak emosi, jika harus menerima bahwa kau entah dimana menaruh pasangan kaos kaki?! Bagaimana cara ku memakai kaos kaki yang hanya sebelah ini?!
Berdebat denganmu hanya akan menyisakan dahak di tenggorokan karena tentu saja kau tak akan dengarkan.
Tapi bukan berarti, kau memang begitu anehnya sehingga aku tidak bisa maafkan. Untuk apa ku maafkan, kalau besoknya tetap begitu, bukan?
Mungkin memang pembiasaan yang terjadi padamu, tidak sama dengan apa yang ku biasa lakukan. Metode mencuci piring, bagaimana cara membersihkan lantai kamar mandi, tentu saja tidak sama dengan apa yang biasa ku lakukan, karena memang ini adalah pembiasaan baru yang kau harus terima perlahan.
Satu kata yang selalu kau jawab kepada siapapun saat ditanya bagaimana rasanya menjalin komitmen sampai mati: Belajar.
Pernikahan itu seperti belajar. Belajar sampai mati. Belajar menerima perbedaan satu sama lain. Belajar memaklumi kekurangan masing-masing, dan saling melengkapi satu sama lain. Tidak harus sempurna, setidaknya proses belajar yang dilakukan bersama sudah maksimal.
Ku biarkan kau belajar untuk bagaimana menyemai rumput di halaman. Ku biarkan juga kau untuk mengulek cabai, memasak lado, meracik kue nastar, dan segala hal yang tentu saja sudah biasa ku lakukan.
Lalu, apa yang ku pelajari?
Tentu saja kamu tidak belajar sendirian, sayang. Aku sedang belajar untuk lebih sabar dengan segala proses yang kita jalani. Berusaha sabar untuk segala langkah yang sedang dijalani bersama. Aku belajar juga, untuk tidak menggerutu terlalu lama jika kamu melakukan hal yang ceroboh, karena tentu saja aku pun tak luput dari kecerobohan itu, bukan?
Aku juga sedang belajar untuk memberikan telinga dan mendengarkan keluh kesahmu sampai salah satu dari kita pulang lebih dulu.
Terlepas dari apapun yang kita selalu berselisih paham, segala yang tidak kita sukai satu sama lain, aku selalu bersyukur untuk dipertemukan denganmu. Terima kasih telah menjadi kau yang tentu saja sangat menyebalkan, tapi tidak pernah lelah untuk belajar. Terima kasih, telah berjuang tanpa lelah untuk menerima perbedaan-perbedaan di sekitar kita.
Selamat ulang tahun,
Terima kasih, untuk tetap hidup dan belajar bersama
Sebentar lagi,
bukan waktu yang singkat
untuk melupa, dan menyambut yang ada
Sebentar lagi,
bukan waktu yang cepat
untuk melangkah, dan memeluk yang ada
Kelak, mungkin tidak akan ada lagi
Romansa dalam malam yang dingin
Cengkerama lewat telepon genggam
atau sekadar bertukar gambar
Karena tak hanya rindu yang mulai berlabuh
Tapi diri ini
Mulai menetap
Memasang jangkar pada pulau terakhir yang disinggah
Rasanya aneh ketika kita jatuh cinta, kita seolah tunduk dengan semua pinta. Diperbudak oleh rasa rindu, kasih, hingga ragu dan takut. Segala rasa bercampur padu, terkadang membuat haru, tapi lebih sering membuat sendu.
Bertahan dengan hampa, buat apa?
Setiap pagi kita berkabar dengannya, memberi tahu jadwal masing-masing, bersiap ke kantor, berkabar, sesekali berjumpa di sore hari, dan mengakhiri hari pada persimpangan dimana kau harus berbelok dan ia melangkah maju.
Dan itu berulang, setiap harinya.
Hingga akhirnya lelah, bukan kepada kisahnya, tapi kepada rutinitas yang selalu menimbulkan tanya,
"Seperti apa ujungnya? Bersatu atau menjauh?"
Kita pun bisa saja lelah untuk berpura-pura. Lelah untuk menjalani yang lagi-lagi tak pernah diketahui ujungnya. Kita seolah membuat jebakan sendiri, mempersulit keadaan hingga membuat diri tidak mengerti atas apa yang dilakukan. Jiwa ini semakin bias pada konsep diri berpasangan, entah untuk apa? Apakah yang kita lakukan? Saling cinta, atau hanya saling mengikat dan membuat luka satu sama lain?
Atau mungkin, hanya saya yang tidak bijak dengan diri sendiri? Membiarkan diri ini lagi dan lagi terbius akan cerita dan memaksa semua mengalir, padahal begitu banyak kerikil yang menghambat arusnya? Entahlah.
Asumsi bergejolak dalam benak, pertanda diri butuh istirahat sejenak,
Entah tidur sekejap, atau melepas segala penat
dari rima yang selalu berulang
dari nama yang tak pernah lekang
Satu kalimat yang selalu teringat,
Kau tak bisa memaksa yang kau cinta tumbuh bersama saat cerita hanya diam di tempat tanpa kata.