Kebimbangan ini bagai lingkaran yang mengurung diriku begitu rupa, bagaimana aku bisa menjelaskan ini semua kepadamu , Pak? Mataku Cuma bisa basah, rupanya hanya dengan cara ini aku bisa merasakan kerinduanku. Pada jarak kita yang sangat jauh, juga dalam rentang waktu yang panjang, masih juga kurindui engkau. Banyak sesalku yang takkan bisa tersampaikan padamu, disaat kau tak ada, aku baru merasai sepinya kesendirian ini.
__________________________________________________________________________________
Mungkin aku adalah anakmu yang selalu membuat hatimu kesal ?(jemariku terhenti menggerakkan pena). Air tidak hanya menetes di mataku tapi juga menyumbat deras pernafasanku, pedih ini lebih dari yang kuduga. Lalu gambaran ketika kau ada berseliweran saling tubruk di kepalaku. Aku ingin menguraikannya satu persatu agar kenangan kita dahulu dapat menjawab rindu ini yang sangat begitu sepi. Aku ingin pedih ini merobek-robek setiap keangkuhan yang aku punyai, lalu aku cuma selembar jiwa yang telungkup di pangkuanmu (suatu kemustahilan, kau telah jauh. Pun ketika kau dekat, aku tak pernah begitu).
Bapak, aku merasa kau ada di dekatku sekarang, tidak dengan sapu lidi dalam genggamanmu yang bisa membuat betisku merah, tapi kau letakkan tanganmu yang lemah di pangkuanku, juga menemaniku menulis surat ini, menuntun hatiku untuk bisa menjadi hangat bersamamu. Tahukah engkau,Bapak, aku ingin berada di pelukmu sebentar saja, tapi tidak dengan baju kebesaranmu dangan tanda jasa dan hiasan bintang di pundakmu. Semua itu membuatku selalu takut, juga untuk menatap matamu, apalagi berlindung di dadamu karena yang kutangkap hanya debur jantung yang selalu siap meledakkan amarah. Namaun sepanjang kita bersama, aku tidak pernah mengimpikan orang lain untuk menjadi bapakku. Kau tetap bapakku, yang telah memberikan rasa tentram sekaligus rasa takut.
Selama kita bersama aku belum pernah begitu berupaya untuk membuat hatimu bahagia, juara kelasku pada tiap jenjang pendidikan bukan untuk kupersembahkan kepadmu, pun begitu dengan prestasiku yang lain bukan untuk membuatmu bangga. Ah Bapak, jika itu untukmu maka kau akan merasa benar bahwa kekerasanmu membuahkan hasil. Semua yang kuraih untuk diriku sendiri, aku begitu keras hati sebab itupun aku tidak arus merasa sedih saat tak satupun pujian kau lontarkan untukku.
Banyak hal yang tidak pernah kuungkapkan kepadamu. Kau bisa luar biasa marah ketika itu bahkan akan mengusirku dari rumah. Tak layak tentu aku menjadi anakmu. Lalu aku akan tinggal di jalanan atau membiarkanku berlimpahan kenistaan sekalian.
Betapa jahatnya aku.Rahasia nista ini aku simpan darimu hanya karena aku takut berhadapan dengan kemarahanmu, bukan karena aku telah melukai hatimu. Ah bapak, terima sungkem dari anakmu ini. Aku menikam berulang-ulang hatiku sendiri sampai kini, bukan kau yang melakukannya, tapu diriku sendiri, meski cuma kekuatan menusukkan belati yang aku miliki yang tertinggal di sisa tenagaku.
Cinta di usia belia bagaikan kobaran api yang menghangsukan tempatnya tumbuh. Laki-laki yang kurelakan menyimpan benihnya di rahimku, juga kurelakan pergi meninggalkan aku. Hanya Ibu yang menangis, dengan tatapan penuh rasa luka dan marah. Anak bungsunya menggugurkan kehamilan yang didapat dari hubungan di luar nikah. Aku Cuma bisa memohon pada ibu untuk tidak mengatakan apapun padamu. Jangan menyalahkan ibu untuk rahasia nista ini. Ibu hanya tidak mau membuat dirimu terluka dan ia menanggungkannya sendirian. Aku telah melukai hati , Ibu, menyakiti hati perempuan yang kau cintai sepenuh jiwa sepanjang hidupmu, maka terimalah ampunku untuk itu.
Masih jelas tergambar ketika itu, kau tetap saja menunjukkan dirimu sebagai bapak yang perkasa dan tegar, meski kau tergolek di atas ranjang yang dikelilingin dengan alat pencuci darah. Suara mesin itu, Pak, memekakakkan telinga dan jantungku bersamaan, membuatku menangis tanpa suara dan air mata. Aku cuma berdiri di sisimu dan tidak juga kau raih jemariku yang menanti penuh harap untuk kau genggam. Betapa ingin kudengar kau katakana sakitmu padaku dengan demikian aku merasa berarti aku menjadi anakmu. Berbagilah, meski tak kurasakan sayatan di perutmu, untuk merelakan darah itu mengalir hilir mudik keluar masuk mesin untuk dicuci.
Di sepanjang tahun sakitmu, kau tetap saja Bapakku dengan wajah dan watak yang keras, melunaklah sedikit seperti organ tubuhmu yang telah aus. Luka di hatiku karena cinta yang kuyakini membuatku mekin terengah meraih – raih hangat dekapan kelembutan cinta seorang Bapak. Aku sepenuhnya yakin, bahwa hanya kau yang mampu mengobatiku.
Bapak, berapa kali aku tidak dapat menahan marahku kepadamu. Dan kau hanya terduduk lesu tanpa ekspresi sambil membiarkan ujung-ujung jarimu yang berdarah. Kau siksa aku terus menerus dengan sakitmu, kau biarkan tanganmu yang telah lumpuh sebelah itu berusaha menggunting kukumu di jemari yang lain karena telah panjang sebagian. Sementara kau biarkan aku tertawa lepas menikmati tontonan menarik di layar televisi di seberang kamarmu. Kenapa tidak juga kau memintaku untuk melakukannya? Mintalah bantuanku, Pak. Tidakkah kau anggap aku ada di sebelahmu?
Juga ketika kau roboh di balik pintu ruang tempat satu-satunya dimana kau habiskan keyidakberdayaanmu, bahkan memanggil namaku pun tidak, kau bersusah payah memapah tubuhmu untuk berdiri, sekali lagi kudapati kau tanpa ekspresi terduduk di lantai bersimpuh dengan kain sarungmu. Ya Tuhan, mengapa kau begitu sombong? Memakai sarungpun kau sudah tidak bisa, mintalah aku melakukannya untukmu. Aku hanya bisa berteriak-teriak, meyakinkanmu bahwa aku selalu ada di sisimu, membantumu dengan ketulusan dan cintaku. Tetapi kau, sekali lagi tidak pernah memperhitungkan aku. Kau hanya menatapku tak berkedip tanpa berkata apapun, namun berjuta makna terbaca di sana. Tentang amarah yang terpendam, tentang rindu yang terbenam, tentang asa yang tenggelam. Ah, matamu tegas menikam kepedihanku, kuat sekali.
Akulah satu-satunya anakmu yang masih tinggal pada atap yang sama. Aku akan menjagamu ketika ibu berangkat ke tanah suci disaat penyakitmu datang. Mengeluhlah kepadaku, Pak. Merataplah kepadaku akan sakitmu. Demi Tuhan, dingin gigil ruang yang berjarak pada diri kita tak akan mampu meluluh leburkan benih kasih sayangku kepadamu. Jangan biarkan aku menjadi orang asing di hadapanmu.
Aku adalah pewaris sikap dan watak kerasmu di antara saudara-saudaraku. Sehingga di antara kita selalu saja ada percikan api yang menggeremang. Suara-suara lantang yang bertabrakan dan memantul-mantul di setiap ruang saat kita berselisih paham. Ketika kecil aku hanya menangis menerima sentilan keras yang menciptakan merah ungu di telingaku. Juga cubitan jemarimu yang gempal di pahaku nan membiru. Segala hal berbeda ketika aku bertambah besar, setinggi tubuhmu, kuperlihatkan ketidaksukaanku, mempertentangkan habis-habisan segala peraturanmu. Aku belajar menentangmu, Pak. Namun aku mencintaimu sangat. Andai engkau tahu itu………
Kau selalu menyebutku pembangkang, bahkan semua saudara dan ibu memberiku predikat demikian. Mungkin semua itu benar, namun bukan berarti aku tak pernah mengasihi dirimu, tempat dimana segala energi pemberontakanku terpusat.
Bapak, ingatkah? Saat itu seorang laki-laki yang begitu dekat dan hangat datang di tengah kita dan kemudian memintaku untuk menjadi istrinya. Dia datang kepadamu menawarkan cinta dan ketulusan untukku, anakmu, yang sampai usia ke dua puluh enamnya selalu saja patah hati, tersakiti berulang kali. Kau selalu saja pergoki aku menangis sendirian d kamar setiap kali laki-laki telah menyakitiku, untuk menangispun aku harus bersembunyi. Aku tidak ingin nampak lemah di hadapanmu.
Aku hampir tidak percaya ketika kau setuju dengan laki-laki itu. Bagaimana mungkin aku menikah dengannya secepat itu? Kau tahu aku baru saja patah cinta dengan seseorang yang lain. Apa yang ia tawarkan kepadamu , Pak? Tidak harta, tidak kaya. Ia hanya seorang laki-laki yang sederhana, tapi memang ia menawarkan cintanya yang tampak begitu besar di matamu. Bagimu ia laki-laki yang tepat untuk menjaga dan mencintaiku. Dan laki-laki itu benar-benar tidak dapat menutupi keinginannya saat menatapku, bahwa sesungguhnya ia demikian berhasrat. Aku peka, aku perempuan yang bisa membaca karena terbiasa terlanda. Tatapannya mengingatkanku pada sorot mata laki-laki di masa laluku yang tak pernah kau tahu.
Akhirnya aku berusaha membina dan belajar mencintainya, namun tidak dapat lagi aku teruskan. Aku menentang pernikahan ini, telah kupersiapkan dengan matang rencana kepergianku dari rumah. Ketika seluruh saudara dan ibu tidak dapat membendung kekerasan hatiku lagi untuk pergi dari rumah dan beranjak dari kehidupan kalian, kau datang menghampiriku di kamar dengan tergopoh-gopoh susah payah berjalan karena stroke yang melumpuhkan separuh badanmu.
Kau, seorang Bapak yang demikian ku kenal, yang selalu berbicara dengan suara lantang dan tegas, yang tiap kali menggeletarkan ruangan di mana kita berselisih, kini terengah menyeret dengan kekuatan sebelah tubuhmu untuk memintaku agar tetap tinggal dan menikah dengan laki-laki itu. Matamu basah, Pak. Itulah air mata pertama yang kau deraikan untukku. Aku belum pernah melihatmu menangis………
Suaramu tak lagi garang, tatapanmu tak lagi menikam, dengan kata-kata yang sulit kau ucapkan karena lidahmu yang telah kelu sebelah, kau memohon padaku untuk tidak pergi, untuk membahagiakanmu, untuk menikahi laki-laki itu sebelum kau bertemu ajalmu. Tak sanggup lagi kudengar suaramu yang terbata dan tidak jelas, kita berpelukan dengan haus dan air mataku yang tumpah ruah di dadamu, betapa kuinginkan dekap hangat seperti ini sejak dulu. Maka Bapak, cintaku padamu yang terpendam berhamburan ke permukaan hatiku, meluluhlah keras hati kita. Aku akan membayar mahal dengan mengabulkan permintaanmu.
Apalah artinya kemudian segala yang harus kutunaikan dibanding hangat hatiku berada di pelukmu, mendengarmu pintamu untuk dibahagiakan. Aku menjadi demikian berarti bagimu. Kepatuhan terbesarku ini akan ku persembahkan padamu, tanpa perasaan terhina, terluka, menekan amarah, namun karena rasa cintaku yang terlampau besar padamu.
Sekian tahun telah kulampaui sesudahnya, dan bisakah kau menerima hal ini sebagai hal terbaik yang mesti kini kutempuhi? Bukan berarti aku tidak bisa memegang janjiku padamu. Namun percayalah kali ini dengan segala kerendahan hatiku , aku bersimpuh di ujung kakimu, bahwa perpisahanku dengan laki-laki pilihanmu adalah jalan kehidupanku yang terbaik juga bagi kedua belah jiwaku, cucu-cucumu. Bukankah hidup hanya sederetan pilihan yang mesti di tempuhi? Dan langkah ini yang harus kupilih dengan segala resiko yang mesti kuhadapi di sepanjang jalannya. Jangan bersedih, bapak. Karena meski aku menangis namun aku sedang menyenangkan diriku sendiri, dalam tangis ini, bukankah dengan ini kita akan selalu merasa bersama serentang apapun jarak di antara kita? Kapan lagi aku bisa menikmati kepedihan ini dengan penuh rasa bahagia.
Namun sampai detik ini masih saja kusemayamkan rinduku dengan sederet rasa sesal yang saling berkejaran, betapa banyak hal yang belum kupersembahkan kepadamu. Aku tidak pernah merasa begitu dekat denganmu sebelumnya, hati kita. Aku ingin kau dekat denganku, mengulang kembali segala kejadian agar aku bisa merasakan kasih sayangmu yang kini kurasakan begitu luar biasa. Aku ingin punahkan pertengkaran-pertengkaran kita bahkan dalam bisupun hal itu selalu saja erat melekat padaku ketika itu. Maafkan atas segala prasangka burukku kepadamu. Kubiarkan puluhan tahun aku menjadikanmu sosok yang kerap kali lebih kejam dari yang kau perlihatkan. Tapi kini aku tidak bisa mengingkarinya (meski ku tak ingin ingkari lagi) bahwa kau adalah seorang Bapak yang punya rasa cinta besar kepadaku, dan dengan kekerasan juga ketegasanmu membuatku kini kuat menghadapi coba hidup. Ini berkatmu, kuwarisi ketegaran dan ketabahanmu yang sesungguhnya.
Bapak, terima simpuhku di sudut kakimu dengan segala maaf dan terima kasihku kepadamu. Atas dasar kasih sayang yang tak mengenal kata akhir, anakmu.
Kututup halaman buku harianku yang telah menjadi saksi pengakuan dosaku itu. Kuraih selembar foto, gambar itu bercerita banyak; seorang anak kecil dengan mata berbinar sedang duduk di bebatuan air terjun bersama seorang laki-laki gagah, aku dan Bapakku. Bahagianya kami ketika itu, mengejar kupu-kupu di pemandian air terjun Bantimurung. Pipiku membasah, ada kelegaan luar biasa yang mengalir bersamanya. Aku makin mencintaimu.
Kemudian sepiku terpecahkan dengan suara tapak kaki-kaki kecil yang berlarian dengan tawa canda riangnya. Mereka menghampiriku, berlomba menjatuhkan kepalanya ke pangkuanku, kurengku keduanya, kuciumi semuanya, aku menjerit dalam hati bahwa betapa aku masih jauh lebih beruntung dari pada mereka berdua, karena aku memiliki bapak yang bertanggung jawab dan penuh kasih, sedangkan anak-anakku tidak.
Mereka berdua bersahutan bertanya, meski sudah berulang kali kukatakan bahwa foto ini adalah Eyang kakung mereka. Dan berebut lontarkan tanya mengapa mereka tidak pernah bertemu dengan Eyangnya. Maka kujawab kesekian kalinya bahwa Eyang Kakung mereka ada di tempat yang sangat jauh, di surga. Lalu kami berlomba untuk saling berpelukan. Aku bahagia dalam tangis damai ini, dalam dekapan kedua anakku. Ini harta terbesarku darimu. Aku ingin selalu merasakan setiap detik yang membahagiakan, meski masih tebal terselubung luka di sebagian hatiku.
Post a Comment