Baru saja gadis kecil itu menyanyikan lagu. Lagu Bintang Kecil dengan suara merdunya. Diakhiri tepukan tangan anak-anak beserta ibu-ibu muda mereka yang hadir. Sangat meriah, meskipun tidak lebih dari lima belas anak yang hadir. Di sana, di sebuah ruang kelas taman kanak-kanak yang terletak di sudut kota kecil yang indah.
Tangan gadis kecil itu saat ini bersatu dengan tangan sang bunda yang menuntunnya berjalan pulang di suatu tepian jalan yang sepi. Gadis kecil itu memakai baju yang paling bagus hari ini, warna putih dengan bordiran halus dilengannya, dan panjangnya hanya sedikit dibawah lutut. Sepatu hitam bersih dengan rambut di kuncir dua.
Sambil berjalan gadis kecil terus bertanya kepada ibunya
“Bintang itu bagaimana bentuknya,Bunda?”
“Bintang itu bulat, sayang,”
“Bulat! bulat bagaimana Bunda?”
Ibunya hanya terdiam belum sempat memberi jawaban. Mamun ia bertanya lagi.
“Apakah bintang sama seperti matahari Bunda?”
“Tidak, matahari lebih terang dari bintang”
“Hmm... aku tahu bunda, karena bintang lebih kecil dari matahari kan” Gadis kecil itu teringat, teringat lagu yang barusan ia nyanyikan, lagu yang pertama diajarkan disekolah, dan lagu yang susah payah ia ingat.
“Bintang temannya juga banyak kan Bunda?” Ia teringat syair lagu yang ia nyanyikan pagi ini, Amat banyak menghias angkasa.
“Iya bener, anak Bunda memang pintar deh!” Gadis itu tersenyum ketika pendengarannya yang tajam menangkap sebuah pujian dari bundanya yang tulus. Karena bundanya selalu tulus. Hati gadis kecil itu terlalu tajam untuk mengerti.
Percakapan mereka berhenti sebentar kala anak itu menadahkan muka keatas. Ibunya memperhatikan dengan senyum, ada sebutir keringat disamping alis anaknya yang tebal akan segera menetes. Sapu tangan berwarna jingga keluar dari tas kecil sang ibu, dengan itu sang bunda menangkap butiran air itu. Lebih cepat dari matahari menguapkan.
Langkah kaki kecil itu beriring dengan langkah bundanya yang sabar mengikuti. Dan tangan itu tak pernah terlepas. Tetap erat berpegangan, sesekali tegangannya menguat kala anak itu sedikit melebarkan langkah ke badan jalan atau saat berbelok di tikungan. Sang bunda ingin membawa anaknya ke jalan yang benar, jalan pulang. Meski kadang jalan itu tak sama dengan jalan pergi.
Pemandangan masih sama setiap hari, di sebelah jalan ada kebun kebun yang ditumbuhi bunga, dan macam-macam sayuran. Bunga melati tumbuh di pematang batas antara kebun dan jalan. Maka melati lebih cocok disebut pagar. Ia tumbuh dengan liar, tidak seperti mawar yang ditanam, dipotong dan dijual. Aroma melati diberikan bebas, siapun saja yang lewat di jalan itu, meskipun batangnya kadang ditebas karena dikira menggangu mawar.
“Bunda, pasti ini aroma melati,” Gadis kecil itu hafal benar aroma melati yang mengepung masuk dengan sukarela kedalam hidungnya.
“Bisa nggak Bunda memetikkan untukku!”, Sang bunda meraih satu kuntum melati yang berwarna putih. Tangan kiri sang anak menadah. Sedang tangan kanannya masih berpegang erat ketangan kiri sang bunda. Bundanya tak rela melepaskan tangan kanan anak itu yang sedang bertaut erat sedari tadi, kemarin juga, hari-hari sebelumnya juga, hanya sekali waktu dilepas. Hanya ketika anaknya itu sedang menikmati mimpi malamnya. Tangan kiri selalu sopan untuk menerima hanya buat anaknya yang satu ini,tapi tidak untuk anak-anak yang lain.
“Hai..Bu, dari sekolahan ya!” Suara seorang perempuan menyahut, mereka berdialog kemudian, gadis kecil itu diam mendengar dialog ibu-ibu muda yang hanya ia mengerti sebagian, bagian yang lain belum ada dikepalanya. Yang ia dengar perempuan itu berkata “Memang dokter bilang apa?”. Tetapi ia tahu pasti dan hafal benar perempuan itu adalah tetangga depan rumah, anehnya ia tak tahu siapa yang sakit.
Dua puluh satu hari berikutnya sang bunda mulai batuk-batuk dan hanya sanggup berbaring, tiga puluh hari sesudahnya ia telah pulang dari perawatan di rumah sakit, tetapi bukan sembuh ia kini. Malah Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, tangan kanannya tak berasa, kaki kakinya telah kehilangan otot, iapun kehilangan suaranya, cuman matanya saja yang masih jernih. Sudah banyak dokter yang datang atau didatangi dan semuanya berkata “Berdoa ya bu”. Ia bersedih bukan karena tubuhnya yang lemah atau takut kematian, tetapi tangan kirinya sudah hampir dua bulan terlepas dari gadis kecilnya, anak yang yang sangat ia cintai.
“Bunda!” gadis kecil itu mengeluarkan suara, yang sedari tadi sejak ibunya datang dari rumah sakit dia ada disamping tempat tidur. Tangan kanannya meraba memegang erat tangan kiri sang bunda yang telah mati rasa. Ibu itu masih mendengarnya, tetapi tak mampu membalas. Hatinya hancur-remuk akan dunia dan satu kekawatiran, namun jiwanya masih bersatu degan Tuhan yang kini berdialog.
“Tuhan ijinkan aku mati, jika disinipun aku tak bisa menuntun anakku. Tetapi biarkan tangan kiriku tetap tinggal di disini ”. Perempuan itu menutup mata dan pergi, sedang si gadis kecil belum tahu hingga gelap menjelang saat tubuh ibunya dirasa kaku dan mendingin. Seketika tangisnya pecah. Ia belum pernah satu kalipun melihat wajah bundanya yang kini telah pergi.
Gadis kecil itu tak mau berpegangan tangan dengan siapapun kini. Ia yakin tongkat kayu yang ada ditangan kanannya, yang menuntunnya menyusuri setiap jalan, adalah tangan kiri ibunya.
kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.. :)