January 2010

Ajari aku, Tuhan


Ajari aku Tuhan
untuk memiliki kasih
ketika yang aku terima adalah kekecewaan
Ajari aku Tuhan
untuk meminta maaf
ketika aku telah melakukan kesalahan
Ajari aku Tuhan
untuk menjauhi dosa
ketika dunia menawarkan sejuta kenikmatan semu
Ajari aku Tuhan
untuk terus bangkit
ketika aku jatuh ke dalam keterpurukan
Ajari aku Tuhan
untuk selalu percaya
ketika semuanya kelihatan mustahil terjadi
Ajari aku Tuhan
untuk bisa berserah
ketika tiada harapan akan suatu keajaiban
Ajari aku Tuhan
untuk tulus bersyukur
ketika yang terjadi tak sesuai yang aku mau
Ajari aku Tuhan
untuk rela berkorban
ketika orang lain membutuhkan pertolongan
Ajari aku Tuhan
untuk tetap bertahan
ketika badai kehidupan datang silih berganti
Ajari aku Tuhan
untuk rendah hati
ketika aku memiliki semua yang aku perlukan
Ajari aku Tuhan
untuk setia berdoa
ketika belum ada jawaban atas setiap harapan
Ajari aku Tuhan
untuk mau belajar
ketika aku tidak bisa menjalani proses ini

simple love ♥

kemarin, tanpa lelah aku menunggumu yang bersembunyi dalam lipatan waktu. Berjelaga dalam kubangan kerinduan yang semakin menenggelamkan aku. Namun aku tak coba mencarimu, hatiku berbisik bahwa cintaku akan membawamu kembali.


dan ketika akhirnya saat itu tiba, kutemukan sosokmu yang selalu mengisi mimpi-mimpiku. Bukan percikan bahagia yang aku nikmati, namun pahitlah yang kukecap kala kau berujar " Kini aku bersamanya, aku tak ingin melihatmu lagi, tolong tinggalkan aku"

Jangan pikir aku tak mampu menangkap lara yang samar-samar kau alirkan. Hujaman kata-katamu yang tajam, tak selaras dengan matamu yang berkaca-kaca. Dan aku pun sadar, bukan hanya hatiku yang kau lukai, kau sedang mengunyah ego...


kau tak akan tahu betapa dalam aku terluka, karna aku telah berujar pada diriku, tak akan mengerang meski perih menusukku, atas nama cinta. Hanya senyum kecut yang kusuguhkan, namun tangis itu pecah dalam hatiku.


satu hal yang ku ingin kau tahu.., kau boleh mendepak aku dari singgasana hatimu, kau boleh saja memutus jembatan antara kita. Tapi jangan pernah minta aku untuk melupakanmu, apalagi sampai memaksaku untuk berhenti mencintaimu, KARENA AKU TAK AKAN PERNAH MAU DAN TAK AKAN PERNAH BISA.


Aku mencintaimu dengan sederhana, cinta yang terus tumbuh meski tak dimaknai. bahkan waktu jua tak berdaya menggerus cintaku yang terlindung dalam selaput ketulusan.


Sempat aku ingin mengurai tanya " mengapa kau lari dariku bila kepingan hatiku masih kau gantung dilehermu?" Hatiku pun ingin berteriak, " mengapa harus dia? (yang katamu tak akan pernah menggantikan tempatku dihatimu)" Tapi tanya itu hanya menggantung tanpa sempat kupetik. apa gunanya aku bertanya, karena apapun jawabnya, rasa ini tak akan beranjak. Dalam diam kucoba tepiskan lara dan menunggu hari bahagiamu.


aku seperti pesakitan yang menunggu vonis dijatuhkan. Namun tak pernah kupinta padaNya agar tak akan pernah ada kalian. Sejak diawal kisah ini, kala aku telah mampu mengeja cinta, yang paling kuinginkan bukanlah memilikimu, melihatmu bahagia itu ingin hatiku. merelakanmu bersanding dengannya adalah ujian untuk cintaku.


Jujur aku akui, saat hari itu merayap mendekat, aku semakin tercekat. Dan kini aku berjuang keras membangun benteng pertahanan yang kokoh agar aku tetap tegar berdiri dihari bahagiamu.


Akan aku buktikan padamu, cintaku yang sederhana telah memberikan aku kekuatan yang tak biasa untuk mencintaimu tanpa alasan tanpa syarat. Pegang janjiku, meski terluka parah akan kuhadiahkan senyum termanis dipesta pernikahanmu

mencintai-kahlil gibran

mencintai,

bukanlah bagaimana kamu melupakan..
melainkan bagaimana kamu MEMAAFKAN..
bukanlah bagaimana kamu mendengarkan..
melainkan bagaimana kamu MENGERTI..
bukanlah apa yang kamu lihat..
melainkan apa yang kamu RASAKAN..
bukanlah bagaimana kamu melepaskan..
melainkan bagaimana kamu BERTAHAN..

Lebih berbahaya mencucurkan air mata dalam hati...
dibandingkan menangis tersedu2...
Air mata yang keluar dapat dihapus..
sementara air mata yang tersembunyimenggoreskan luka yang tidak akan pernah hilang..
Akan tiba saatnya di mana kamu harus berhenti mencintai seseorang
bukan karena orang itu berhenti mencintai kita
melainkan karena kita menyadaribahwa orang itu akan lebih berbahagia,
apabila kita melepaskannya.
Apabila kamu benar2 mencintai seseorang,
jangan lepaskan dia..

jangan percaya bahwa melepaskan selalu berarti kamu benar2 mencintai
melainkan...
berjuanglah demi cintamu
Itulah cinta sejati
lebih baik menunggu orang yang kamu inginkan
daripada berjalan bersama orang 'yang tersedia'
Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai
daripada orang yang berada di sekelilingmu
Lebih baik menunggu orang yang tepat
karena hidup ini terlalu singkat untuk dibuang hanya dengan 'seseorang'

CURAHANKU PADA ALLAH

Allah, apa yang ingin engkau perlihatkan, saat rasa itu mulai datang kunikmati setiap waktu dengannya,ada nyaman yang jarang kutemukan dengan yang lain, merenda mimpi yang terasa indah, melambungkan sejuta harap dan asa yang mungkin terlalu tinggi.. salahkah itu?

Allah, tahukah bahwa aku berharap dapat bersamanya, kemudian kurangkai mimpi yang terucap dalam setiap obrolan kita, namun ada yang lain harus kulakukan, tatkala harus memilih kukorbankan rasa ini, aku merasa tak pantas buat dirinya menurutku yang terlalu sempurna.

Allah, mengapa engkau perlihatkan jalan yang lain, aku memilih menghapus mimpiku dan melepasnya, naum mengapa kau beri aku cobaan yang bertubi-tubi ini? Hati ini mulai sakit dan tangisku mulai pecah di malam-Mu, disetiap sujud-Mu. Namun entah mengapa ketenangan itu belum kudapat.

Allah, Engkau maha tahu bagaimana rasa ini untuknya, berikanlah ia kebahagiaan selalu. Jika denganku kebahagiaannya terkekang, maka lepaskan aku darinya. Jika aku masih diberi kesempatan, lihatlah aku dari tempatmu yang tenang, tuntun aku ke jalan yang benar agar aku dapat membahagiakannya.

seberapa lama aku sanggup bertahan

Hey, kau yang disana!
Apakah kau mendengar suaraku yang parau?
Apakah kau melihat diriku yang lemah?

Hey, kau yang disana!
Apakah kau mampu menemukan sinar mataku lagi?
Apakah kau mampukah mengembalikan senyumku?

diam?
mengapa kau diam?
mengapa tidak menghampiriku?
tidak pula kau menatapku.

perlukah aku berteriak lebih keras lagi?
perlukah aku yang menghampirimu?

mengapa kau harus diam?
Apakah kau tidak mengasihaniku yang mengemis meminta belas kasihmu?
Ataukah kau mencoba berpaling dariku?

diam?
kau masih saja diam?
haruskah aku memberimu waktu untuk bicara sedangkan telah sekian lama aku yang diam.

hey.......!

bolehkah aku mencuri hatimu?
bolehkah aku membelah hatimu?
agar aku bisa mengetahui siapa saja yang ada dihatimu .
agar aku bisa mengetahui seberapa besar kau membenciku .

Kucoba menjauh darimu.
Sebuah jarak antara barat dan timur.
Mungkin jarak itu cukup untuk kau rasakan rindu yang kurasa.
Dan selama itu akan kutunggu kamu menghampiriku.

Kau masih berdiri disana?
Perlukah aku berteriak pada telingamu.
Akan kusampaikan segala emosi yang bergejolak.

Akan kusampaikan, bahwa aku mencintaimu.
bahwa aku merindukanmu.
bahwa aku membutuhkanmu.

bila kau bertanya mengapa.
aku akan menjawab, karna kamu segalanya bagiku.
Meskipun kutahu, hanya diriku yang menganggapmu begitu.

kucoba untuk bersabar.
kucoba untuk menunggu.
kucoba untuk menanti.
kucoba untuk tegar.
dan kucoba untuk percaya bahwa kau kembali.

namun salahkah aku bila aku semu dengan semua yang mulai membunuhku?

kau mengulur waktu yang kuberikan.
kau menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
kau biarkan aku menjauh bahkan lebih jauh.

tapi salahkah aku masih menunggumu? hanya satu jawabannya, tentu tidak.

mungkin aku yang salah telah mengkhianatimu.
mungkin aku yang salah telah mendustaimu.
mungkin aku yang salah telah meninggalkanmu.

tapi apakah aku juga yang salah karena penyesalanku datang terlambat?

Aku tak tahan !
Aku tak tahan !
Aku tak tahan !
Aku tak tahan !

Kumohon, datanglah padaku !
tampar wajahku !
Tusuk jantungku !
Dan carilah hatiku bahwa disana masih terukir namamu...

drama satu babak dalam hujan

Cuma sepenggal kata itu yang meluncur dari gadis yang sedari tadi menunduk di hadapan kekasihnya itu. Lalu mereka terbanting dalam sunyi yang mencekam. Berkali-kali kekasihnya melontarkan tanya tapi berkali-kali pula dia menyodorkan diam.

Gadis itu masih menunduk. Menggigit bibirnya dan tak berani mengangkat wajah apalagi memandang manik mata cowok yang telah mendampinginya menyambut rinai selama hampir dua tahun.

Tak ada jawaban.

Tak ada air mata.

Cuma gemericik air hujan dan lagi-lagi hempasan angin.

Lalu perlahan gadis itu berbalik dan pergi. Meninggalkan kekasihnya yang masih tergugu dalam diam. Pria itu tak bisa apa-apa karena dia tahu pasti sia-sia belaka mengejar gadis itu dan meminta penjelasan untuk ketidakmengertiannya. Dia pasti akan menuai diam kembali. Seperti tadi.

Dia cuma menatap punggung itu sembari berharap gadis itu akan berbalik dan menyapanya dengan selarik tawa renyah.

Aku cuma bercanda, katanya. Lalu mereka kembali bercengkerama dan saling memercikkan air hujan. Seperti biasanya. Sebentuk senyum pun membias di hati.

Tapi punggung itu terus saja menjauh. Melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Mulai mengabur di balik tirai hujan. Lalu menghilang di kegelapan. Sementara pekat enggan memantulkan sosok gadis itu dalam matanya.

Dia pun menggigil.

***

Malam kian larut. Bias kelam semakin pekat. Senyap. Cuma ada suara nyaring jangkrik dan desik air dari pepohonan. Ada juga beberapa lagu riang para kodok yang menimpali suara si jangkrik. Seperti orkestra malam. Pertanda bahwa hujan telah usai.

Aku melangkah menuju teras. Pelan. Sedikit bersijingkat malah karena aku tak ingin mengusik siapapun. Sisa-sisa rinai yang masih melekat di tubuhku menetes dan jatuh ke lantai. Menciptakan genangan kecil.
Sementara itu desah angin malam menyusupkan gigil dan membuat seluruh indera perasaku serasa melumpuh. Beku.

Aku mendorong daun pintu. Perlahan. Aku tak ingin menimbulkan bunyi-bunyian yang akan membangunkan seluruh penghuni rumah ini. Aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebuah drama memilukan dan mereka akan memerankan tokoh-tokoh dengan mimik iba bercampur kuatir membias di wajah masing-masing. Tentu saja peran itu tidak berlaku untukku. Aku cuma menjadi objek dari tatapan-tatapan iba itu. Sungguh drama yang membosankan.

“Dinda”

Langkahku terhenti.

Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku terbentur pada sosok mama yang masih terjaga di pojok ruang tamu. Ada kantuk menggantung di matanya. Tampaknya beliau sangat kelelahan karena selalu mengurusi segala kebutuhanku bahkan hal-hal yang paling kecil sekalipun.
Terkadang mama menyempatkan diri untuk menyuapkan satu atau dua sendok makanan kala pisau mengiris-iris lambungku atau saat nyeri menghujam kepalaku. Bahkan beliau masih terjaga selarut ini hanya untuk menungguku.

“Kamu dari mana saja, sayang?” tanya mama dengan lembut. Aku menemukan raut cemas juga guratan-guratan lelah disekitar matanya. Beliau menghampiriku.

“Badanmu dingin sekali. Kamu basah kuyup” ujar mama. Panik.
Aku tersenyum sebagai isyarat pada mama untuk tidak kuatir. Tapi tampaknya usahaku itu tidak berhasil.

Dengan tergopoh-gopoh mama mengambil sehelai handuk. Lalu berusaha mengibaskan sisa-sisa hujan di rambutku dan melingkarkan handuk tersebut di sekujur tubuhku.

“Mengapa tak menunggu hingga hujan reda? Seharusnya kamu menelepon agar papa bisa menjemputmu.” Suara mama terdengar jengkel karena aku sama sekali tak peduli apalagi mencemaskan diriku. Seperti dirinya.
Ah, selalu saja begitu.

Jujur, aku letih menjadi pusat perhatian baik dari Mama, papa atau Mbak Ina. Seolah-olah mereka tak percaya aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Dan selalu saja mempermasalahkan hal-hal kecil yang katanya bisa mengusik kenyamananku padahal aku sendiri tidak pernah merasa tidak nyaman. Justru aku gerah dengan semua perhatian mereka.

“Aku tidak apa-apa kok, ma”

Aku mencoba menenangkan mama. Lalu menyematkan binar di wajahku untuk lebih meyakinkan mama. Aku mengambil alih pekerjaan mama dan mulai mengeringkan tubuhku, mengusap pipiku kemudian melilitkan handuk itu di kepalaku.

“Seharusnya kamu menelepon dulu agar mama dan papa tidak kuatir. Kamu ingat khan pesan dokter?”

Ah, yah… pesan dokter. Aku mendesah. Melempar pandang ke petak-petak ubin yang terasa dingin di telapak kakiku. Nanar.

Semenjak penyakit sialan ini bersarang di kepalaku. Sejak itu pula aku tak berhak atas hidupku. Dan vonis dokter adalah klimaks dari belenggu ini Segala hal harus teratur termasuk menenggak berpuluh-puluh pil pahit dan membiarkannya meluncur di tenggorokanku. Katanya untuk mengurangi rasa sakit yang memang selalu menyergap kepalaku tiba-tiba. Aku benar-benar bosan dengan semua itu.

“Kamu harus lebih banyak istirahat. Jangan terlalu lelah. Jangan….”
Lalu berbagai larangan dalam bentuk kata jangan meluncur. Seperti biasa.

Aku cuma mengangguk. Pelan. Lalu melangkah menuju kamar.

Aku merasakan penat di sekujur tubuhku. Bukan saja karena terlalu jauh berjalan tapi karena beban yang bergelayut sejak tadi sore. Ah, andai saja aku bisa menguraikan alasan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Aku bisa sedikit lega. Setidaknya kata rela menjadi akhir yang baik untuk kisah kami. Tapi aku tak mau ada pemeran baru lagi dalam drama memilukan ini. Biarlah.

Baru saja aku hendak menjejal lantai kamar tidurku, tiba-tiba saja aku merasakan beribu-ribu jarum menghujam kepalaku. Menghujaniku dengan nyeri bukan kepalang. Lalu bongkahan-bongkahan es menindih otak bagian belakang. Bertubi-tubi. Lalu nyeri itu menjalar ke seluruh pusat syaraf. Aku berhenti sejenak. Dan memegangi daun pintu yang sekejab saja beralih fungsi sebagai penopangku.

Aku mengigit bibir. Berusaha menahan rasa sakit. Tapi jarum-jarum itu terus saja tumpah ruah di kepalaku.

Bau amis merebak di seluruh ruangan.

Pandanganku mulai mengabur. Dunia seakan berputar serupa spiral. Seluruh perkakas yang ada di ruangan ini pun berubah warna. Abu-abu. Aku mengerang.

“Dinda!!”

Masih sempat aku mendengar mama memekik. Panik. Sebelum kelam menyergapku. Sebelum aku merasakan kaku di setiap sendiku.
Lalu di sekelilingku cuma ada warna hitam. Pekat.
Senyap.

***

Aku masih melangkah. Entah sudah berapa lama. Aku pun tak tahu. Aku cuma ingin melangkah dan terus melangkah. Melarung seluruh duka dalam tetesan air hujan. lalu membiarkannya meluruh menuju laut. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan air hujan yang melekat di tubuhku telah mengering sedari tadi. Pertanda sudah cukup lama aku menyusuri malam. Sendirian.

Aku masih tidak percaya dengan pernyataan Dinda tadi. Padahal aku merasa tidak ada yang salah di antara kami. Bahkan kemarin sore kami masih merangkai mimpi bersama-sama. Tak lupa membubuhkan sedikit sumpah dalam kata setia. Manis. Tapi mengapa harus ada kata perpisahan?

Tiba-tiba prasangka memenuhi kepalaku bila gadis yang senantiasa memenuhi rongga hatiku itu ternyata tak merasakan rasa yang sama dengan rasaku. Ah, mungkinkah?

Aku masih terus melangkah. Entah sudah sejauh mana. Aku tak tahu. Aku cuma tahu bila kakiku sudah terlalu penat dan enggan untuk meneruskan perjalanan lagi. Apakah penat itu juga yang memenuhi hati Dinda sehingga dia memutuskan untuk berhenti melukis hari bersamaku? Hah, dadaku sesak.

Aku memasuki pekarangan rumah dengan gontai. Mendorong pintu pagar. Tak bersemangat. Saat ini aku cuma ingin membenamkan penat di ranjang. Lalu terbangun esok pagi dengan seulas sapa hangat. Seperti biasa. Cuma mimpi, demikian aku akan mengguman. Mungkinkah.

Tapi langkahku seketika merandek saat menemukan satu sosok yang mematung di teras. Sosok itu terpaku dengan kepala menunduk.

“Dinda?” desisku. Heran.

Aku mempercepat langkah. Aku ingin memastikan apakah sosok itu benar-benar Dinda. Benar. Itu Dindaku. Ah, ternyata tadi sore cuma bagian dari keisengannya. Ada sedikit lega dalam dadaku.

“Dinda…”

Dia mengangkat wajah. Begitu melihatku, Dinda segera berlari ke arahku. Lalu menghambur dalam pelukanku. Erat sekali.

“Maafkan aku, Re”

Ada isak tertumpah dalam dada. Aku membelai rambutnya. Lembut.
Tidak. Aku takkan pernah bisa mempersalahkan gadis ini apalagi menudingnya sebagai pengkhianat dari sumpah yang pernah kami urai bersama. Akupun tak sanggup bila dia benar-benar menghilang dari tatapanku, seperti sore tadi. Jangan lagi memerankan lakon seperti tadi, pintaku dalam hati.

“Maafkan aku, Re” ucapnya. Berkali-kali. Tanpa henti. Aku mengangguk. Ada seribu maaf untuknya. Selalu.

Aku menuntun gadis itu menuju rumah. Tapi dia menolak. Lalu aku membimbingnya menuju kursi taman. Ah, wajah itu sungguh pucat. ada lelah menggantung di matanya. Bibirnya membiru. Dan tubuhnya terasa begitu beku. Mungkin angin malam telah menyusupkan gigil ke sekujur tubuhnya. Atau mungkin dia terlalu lama memeluk tangis. Dia terlihat begitu keletihan. Ringkih.

Aku pun menawarkan segelas teh hangat. Dia mengangguk. Lalu aku beranjak menuju rumah. Tapi jemarinya menahan langkahku.

“Re, kamu tidak marah padaku ‘kan?” tanyanya. Lagi.

Aku berjongkok. Menyapu wajah gadis itu dengan tatapan lembut. Dia menggigit bibir.

“Aku takkan pernah bisa marah apalagi membencimu, Din,” jawabku. Pasti. Lalu dia memelukku. Erat. Bahkan lebih erat dari sebelumnya. Aku merasakan dingin di sekujur tubuh itu.

“Terima kasih, Re” tuturnya. “ Setidaknya aku bisa lebih merelakan takdir.”

Aku bingung. Tak mengerti sedikit pun.

“Terima kasih,” ulangnya. Lagi. Sesaat sebelum aku menghilang di balik pintu. Dengan tergesa aku melangkah menuju dapur. Menyeduh segelas teh penawar beku.

“Din, ini teh hangat un…”

Ucapanku terhenti. Tak ada siapapun. Aku mencari sosok Dinda di seluruh taman. Tapi aku cuma menemukan sepi.

“Dinda?” panggilku. Tak ada sahutan. Aku celingak-celinguk. Tapi tak jua aku menemukannya.

Dinda?


***

Grek-grek-grek…

Terdengar suara derak-derak roda berpacu dengan panik. Beberapa wajah membiaskan raut cemas dengan napas menderu. Sementara derap langkah tergesa-gesa membuat suasana di tempat ini semakin mencekam.

“Maaf, sebaiknya anda menunggu di luar,” cegah wanita berseragam putih itu. Langkah mama tertahan. Dia menyempatkan diri ‘tuk menjenguk ke arah dalam. Di sana sosok putri bungsunya terbujur kaku dengan wajah kesakitan.

Lampu di atas tulisan ICU menyala. Semua terdiam dalam cemas yang teramat sangat. Papa memeluk mama yang sekuat tenaga menahan isak. Sementara Ina mondar-mandir di depan pintu ruangan berlabel ICU itu. semua membisu dalam kaku.

Sudah hampir 1 jam. Tak ada pemberitahuan apapun. Ruangan itu masih membeku. Tak ada tanda-tanda akan terbuka. Dan mereka terus menggigil dalam cemas.

Krek…!

Pintu menguak. Setiap kepala mendongak. Satu sosok menyembul dari balik pintu.

“Dokter, bagaimana kondisi Dinda?” Cecar mereka dengan napas tersengal. Sosok berseragam putih yang mereka panggil Dokter itu mendesah. Dia mengusap tetes-tetes letih di dahinya. Lalu membuka masker yang membalut hampir separuh wajahnya.

Mereka menahan napas. Berharap bahwa kabar baik yang akan meluncur dari sang dokter. Bukan berharap tapi meminta karena mereka belum siap mendengar hal buruk tentang Dinda.

“Maaf, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Kam…”

Belum lagi dokter selesai mengumumkan berita tersebut. Mama telah histeris. Beliau memaksa masuk ke dalam ruangan.
Dinda!!!



***

sebelumnya...

“Lihat, Din. Sepertinya langit mulai mendung,“ ucap Reza dengan gembira sambil menunjuk ke atas. “Sebentar lagi kita akan bermain di bawah Rinai”

Gadis yang ada di sampingnya tak menyahut. Seperti biasanya. Reza bingung karena dia menemukan mendung juga menggantung di mata kekasihnya. Padahal biasanya gadis ini akan menari bersama irama hujan. Menikmati setiap desis angin dan gemericik air.

“Din…” Dinda memalingkan wajahnya

“Re, aku ingin semuanya berakhir.” ujar Dinda

Reza terperanjat.

“Maksud kamu?”

“Aku ingin mengakhiri hubungan ini. Kita mengambil jalan masing-masing.”

“Kamu bercanda bukan? Ini cuma…”

“Tidak, Re. ini bukan sekedar lelucon,” potong Dinda. Cepat.

“Tapi kenapa, Din? Apa aku telah menyakitimu? Apa aku telah membuatmu tidak nyaman? Beri aku alasan untuk menerima keputusan ini.”

Tak ada jawaban.

Dinda cuma menunduk. Reza tak bisa meneriman keputusan ini. Dia terus mencecar gadis itu dengan berjuta kenapa. Tapi Dinda tetap membisu.
“Maaf, Re.”

***

Epilog:

Mendung menggantung di langit. Pekat berarak lalu perlahan-lahan menelan binar mentari. Desik-desik angin bergelayut. Manja. Menyusupkan gigil di setiap sendi.

Reza masih terpaku di sana. Menatap luruh ke arah gundukan tanah yang masih memerah. Dia meraba selembar papan yang menancap di atas gundukan itu. Ada sebaris nama tertulis di sana: Dinda puspita.

Ah, ternyata gadis itu memikul beban yang begitu berat sendirian. Dia tidak mau berbagi karena tidak mau dikasihani bahkan oleh Reza sekalipun. Dia ingin normal seperti gadis-gadis lain walaupun dengan kanker bersarang di kepalanya.

Kelam kian pekat di langit. Gesekan dedaunan juga suara hempasan angin kian kencang. Lalu titik-titik hujan mulai tercurah. Reza beranjak meninggalkan tempat ini. sejenak dia menengadah ke Langit. Lalu melangkah pergi.

Din, Sebentar lagi kita akan bermain di bawah Hujan.

AYAH :')



sedikit menyesal kenapa gue baru bisa bikin ini sekarang.. :(


ayah,,

senyummu, gelakmu, marahmu

masih selalu kukenang sebagai pengantar tidurku

masih ingatkah kau ketika aku terjatuh dari sepeda roda tigaku?

kau berlari mengejarku, walau harus melompat tembok batu




ayah,,

nasehatmu kujadikan wallpaper dilaptopku

fotomu kuedit, kusatukan bersama foto ibu

kujadikan screen saverku,

terkadang kudiamkan saja notebookku

disaat aku ingin untuk menangisimu

merindukan soskmu yang hilang dimataku




ayah,,

liburan kemarin aku senang senang

tapi maafkan aku, karena tak berkunjung datang

kubiarkan tanahmu ditumbuhi ilalang

kubiarkan gundukanmu kering kerontang

bukan aku tak mau datang

aku takut tak sanggup pulang

aku takut terang menjadi petang

dan kembali kuingat saat nyawamu meregang




ayah pun berkata di rumah barunya,

berbisik pada munkar nakir

bercengkrama dengan rakib atit

dan menitip pesan pada Sang Khalik,




biarlah aku yang pulang, menanti anakku hingga petang

menanti doa dari anak-anak yang kucintai

sampai mereka dapat temaniku disini

SEMPURNAKAH AKU SEBAGAI MANUSIA?

Sempurnakah aku sebagai manusia? Dahulu sekali, saat aku masih kecil dan mempunyai banyak mimpi yang bertebaran, aku menginginkan semua hal yang waktu aku impikan. Melihat kegagalan orang lain dengan sedikit sikap meremehkan seraya berkata, “Aku tidak akan seperti mereka karena aku mampu, aku lebih pintar. Memang kenapa mereka bisa gagal ?”. Mungkin itu yang namanya sinis, tapi aku masih terlalu kecil untuk mengerti kata itu. Kemudian aku terus melangkah dengan sejuta mimpi itu.

Semakin aku melangkah semakin mereka bertanya, “Nanti mau jadi apa ?” Tak pernah ada jawaban yang sama yang keluar dari mulutku. Di satu saat aku ingin jadi astronot, di waktu lain aku ingin punya usaha salon, dan di waktu lain aku bilang tidak tahu. Lelah aku karena pertanyaan itu akan membawa mereka ke dalam perbandingan dengan orang lain. Ataukah mereka membandingkan dengan diri mereka sendiri yang telah gagal mencapai mimpi mereka sendiri ? Sesungguhnya aku hanya ingin menjadi diriku sendiri yang ingin menjadi semua orang. Serakahkah aku apabila aku di waktu lain aku ingin seperti si A sedang untuk hal lain aku ingin seperti si B. Ada persamaan antara si A, si B, bahkan hingga si Z. Mereka sama dengan aku, tetapi apa yang kemudian membedakan mereka dengan aku? Dan aku pun terus melangkah.

Beranjak remaja aku mulai merasakan apa rasanya jatuh cinta dan patah hati. Saat kau jatuh cinta kau serasa terbang di atas bumi, mencoba sekedar mengintip bagaimana itu surga. Di saat kau patah hati, sayap itu akan hilang berubah menjadi beban yang menghempaskanmu ke bumi seperti hukum alam fisika. Bebannya yang berat membuat kau lebih sakit. Namun di waktu itu kau akhirnya tersadar sebagai satu manusia di tengah-tengah masyarakat dengan aturannya. Aku melihat mereka sebagai diriku, manusia yang gagal dalam mencapai mimpinya. Aku mulai melangkah tetapi beban yang membawaku jatuh membuatku seraya tersiksa dengan setiap jejakku.

Tidak pernah saat aku kecil, melihat dunia ini yang penuh dengan beban, peraturan, kewajiban, dan tanggung jawab. Sewaktu ku kecil aku hanya bisa melihat mimpi seperti bintang yang bertebaran di langit. Sekarang tidak satu pun bintang yang tampak, hanya kilaunya matahari yang membutakan langkahku dan membakar setiap luka yang terbuka.

Apakah ini manusia, mahluk yang dibatasi sendiri dengan keterbatasannya dalam mencapai kesempurnaan ? Mimpi-mimpiku dahulu sangatlah sempurna, orang yang sangat bahagia, sukses dalam segala hal, tidak ada kekurangan dalam hal materi, dan memiliki seluruh waktu di dunia untuknya sendiri.

Seperti dibangunkan oleh suara halilintar, aku ketakutan. Aku ingin terbang kembali atau setidaknya pergi ke dataran tempat aku kecil dahulu. Lupa bahwa semakin aku ingin terbang, tanggung jawab dan beban itu semakin membebaniku seperti hukum alam lainnya. Hanya di saat seperti inilah kemudian aku melihat ke atas dan tanpa terasa butir demi butir air mendinginkan lukaku untuk sementara. Aku mengucapkan bahasa yang hanya dimengerti semesta karena semestalah yang membawaku ke dasar ini.

Aku hanya ingin sempurna.

tongkat ini adalah tanganmu, ibu :)

Baru saja gadis kecil itu menyanyikan lagu. Lagu Bintang Kecil dengan suara merdunya. Diakhiri tepukan tangan anak-anak beserta ibu-ibu muda mereka yang hadir. Sangat meriah, meskipun tidak lebih dari lima belas anak yang hadir. Di sana, di sebuah ruang kelas taman kanak-kanak yang terletak di sudut kota kecil yang indah.

Tangan gadis kecil itu saat ini bersatu dengan tangan sang bunda yang menuntunnya berjalan pulang di suatu tepian jalan yang sepi. Gadis kecil itu memakai baju yang paling bagus hari ini, warna putih dengan bordiran halus dilengannya, dan panjangnya hanya sedikit dibawah lutut. Sepatu hitam bersih dengan rambut di kuncir dua.

Sambil berjalan gadis kecil terus bertanya kepada ibunya

“Bintang itu bagaimana bentuknya,Bunda?”
“Bintang itu bulat, sayang,”
“Bulat! bulat bagaimana Bunda?”

Ibunya hanya terdiam belum sempat memberi jawaban. Mamun ia bertanya lagi.

“Apakah bintang sama seperti matahari Bunda?”
“Tidak, matahari lebih terang dari bintang”
“Hmm... aku tahu bunda, karena bintang lebih kecil dari matahari kan” Gadis kecil itu teringat, teringat lagu yang barusan ia nyanyikan, lagu yang pertama diajarkan disekolah, dan lagu yang susah payah ia ingat.

“Bintang temannya juga banyak kan Bunda?” Ia teringat syair lagu yang ia nyanyikan pagi ini, Amat banyak menghias angkasa.
“Iya bener, anak Bunda memang pintar deh!” Gadis itu tersenyum ketika pendengarannya yang tajam menangkap sebuah pujian dari bundanya yang tulus. Karena bundanya selalu tulus. Hati gadis kecil itu terlalu tajam untuk mengerti.

Percakapan mereka berhenti sebentar kala anak itu menadahkan muka keatas. Ibunya memperhatikan dengan senyum, ada sebutir keringat disamping alis anaknya yang tebal akan segera menetes. Sapu tangan berwarna jingga keluar dari tas kecil sang ibu, dengan itu sang bunda menangkap butiran air itu. Lebih cepat dari matahari menguapkan.

Langkah kaki kecil itu beriring dengan langkah bundanya yang sabar mengikuti. Dan tangan itu tak pernah terlepas. Tetap erat berpegangan, sesekali tegangannya menguat kala anak itu sedikit melebarkan langkah ke badan jalan atau saat berbelok di tikungan. Sang bunda ingin membawa anaknya ke jalan yang benar, jalan pulang. Meski kadang jalan itu tak sama dengan jalan pergi.

Pemandangan masih sama setiap hari, di sebelah jalan ada kebun kebun yang ditumbuhi bunga, dan macam-macam sayuran. Bunga melati tumbuh di pematang batas antara kebun dan jalan. Maka melati lebih cocok disebut pagar. Ia tumbuh dengan liar, tidak seperti mawar yang ditanam, dipotong dan dijual. Aroma melati diberikan bebas, siapun saja yang lewat di jalan itu, meskipun batangnya kadang ditebas karena dikira menggangu mawar.

“Bunda, pasti ini aroma melati,” Gadis kecil itu hafal benar aroma melati yang mengepung masuk dengan sukarela kedalam hidungnya.
“Bisa nggak Bunda memetikkan untukku!”, Sang bunda meraih satu kuntum melati yang berwarna putih. Tangan kiri sang anak menadah. Sedang tangan kanannya masih berpegang erat ketangan kiri sang bunda. Bundanya tak rela melepaskan tangan kanan anak itu yang sedang bertaut erat sedari tadi, kemarin juga, hari-hari sebelumnya juga, hanya sekali waktu dilepas. Hanya ketika anaknya itu sedang menikmati mimpi malamnya. Tangan kiri selalu sopan untuk menerima hanya buat anaknya yang satu ini,tapi tidak untuk anak-anak yang lain.

“Hai..Bu, dari sekolahan ya!” Suara seorang perempuan menyahut, mereka berdialog kemudian, gadis kecil itu diam mendengar dialog ibu-ibu muda yang hanya ia mengerti sebagian, bagian yang lain belum ada dikepalanya. Yang ia dengar perempuan itu berkata “Memang dokter bilang apa?”. Tetapi ia tahu pasti dan hafal benar perempuan itu adalah tetangga depan rumah, anehnya ia tak tahu siapa yang sakit.

Dua puluh satu hari berikutnya sang bunda mulai batuk-batuk dan hanya sanggup berbaring, tiga puluh hari sesudahnya ia telah pulang dari perawatan di rumah sakit, tetapi bukan sembuh ia kini. Malah Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, tangan kanannya tak berasa, kaki kakinya telah kehilangan otot, iapun kehilangan suaranya, cuman matanya saja yang masih jernih. Sudah banyak dokter yang datang atau didatangi dan semuanya berkata “Berdoa ya bu”. Ia bersedih bukan karena tubuhnya yang lemah atau takut kematian, tetapi tangan kirinya sudah hampir dua bulan terlepas dari gadis kecilnya, anak yang yang sangat ia cintai.

“Bunda!” gadis kecil itu mengeluarkan suara, yang sedari tadi sejak ibunya datang dari rumah sakit dia ada disamping tempat tidur. Tangan kanannya meraba memegang erat tangan kiri sang bunda yang telah mati rasa. Ibu itu masih mendengarnya, tetapi tak mampu membalas. Hatinya hancur-remuk akan dunia dan satu kekawatiran, namun jiwanya masih bersatu degan Tuhan yang kini berdialog.

“Tuhan ijinkan aku mati, jika disinipun aku tak bisa menuntun anakku. Tetapi biarkan tangan kiriku tetap tinggal di disini ”. Perempuan itu menutup mata dan pergi, sedang si gadis kecil belum tahu hingga gelap menjelang saat tubuh ibunya dirasa kaku dan mendingin. Seketika tangisnya pecah. Ia belum pernah satu kalipun melihat wajah bundanya yang kini telah pergi.

Gadis kecil itu tak mau berpegangan tangan dengan siapapun kini. Ia yakin tongkat kayu yang ada ditangan kanannya, yang menuntunnya menyusuri setiap jalan, adalah tangan kiri ibunya.




kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa.. :)

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top