drama satu babak dalam hujan

Cuma sepenggal kata itu yang meluncur dari gadis yang sedari tadi menunduk di hadapan kekasihnya itu. Lalu mereka terbanting dalam sunyi yang mencekam. Berkali-kali kekasihnya melontarkan tanya tapi berkali-kali pula dia menyodorkan diam.

Gadis itu masih menunduk. Menggigit bibirnya dan tak berani mengangkat wajah apalagi memandang manik mata cowok yang telah mendampinginya menyambut rinai selama hampir dua tahun.

Tak ada jawaban.

Tak ada air mata.

Cuma gemericik air hujan dan lagi-lagi hempasan angin.

Lalu perlahan gadis itu berbalik dan pergi. Meninggalkan kekasihnya yang masih tergugu dalam diam. Pria itu tak bisa apa-apa karena dia tahu pasti sia-sia belaka mengejar gadis itu dan meminta penjelasan untuk ketidakmengertiannya. Dia pasti akan menuai diam kembali. Seperti tadi.

Dia cuma menatap punggung itu sembari berharap gadis itu akan berbalik dan menyapanya dengan selarik tawa renyah.

Aku cuma bercanda, katanya. Lalu mereka kembali bercengkerama dan saling memercikkan air hujan. Seperti biasanya. Sebentuk senyum pun membias di hati.

Tapi punggung itu terus saja menjauh. Melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Mulai mengabur di balik tirai hujan. Lalu menghilang di kegelapan. Sementara pekat enggan memantulkan sosok gadis itu dalam matanya.

Dia pun menggigil.

***

Malam kian larut. Bias kelam semakin pekat. Senyap. Cuma ada suara nyaring jangkrik dan desik air dari pepohonan. Ada juga beberapa lagu riang para kodok yang menimpali suara si jangkrik. Seperti orkestra malam. Pertanda bahwa hujan telah usai.

Aku melangkah menuju teras. Pelan. Sedikit bersijingkat malah karena aku tak ingin mengusik siapapun. Sisa-sisa rinai yang masih melekat di tubuhku menetes dan jatuh ke lantai. Menciptakan genangan kecil.
Sementara itu desah angin malam menyusupkan gigil dan membuat seluruh indera perasaku serasa melumpuh. Beku.

Aku mendorong daun pintu. Perlahan. Aku tak ingin menimbulkan bunyi-bunyian yang akan membangunkan seluruh penghuni rumah ini. Aku bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebuah drama memilukan dan mereka akan memerankan tokoh-tokoh dengan mimik iba bercampur kuatir membias di wajah masing-masing. Tentu saja peran itu tidak berlaku untukku. Aku cuma menjadi objek dari tatapan-tatapan iba itu. Sungguh drama yang membosankan.

“Dinda”

Langkahku terhenti.

Aku menoleh ke arah sumber suara. Mataku terbentur pada sosok mama yang masih terjaga di pojok ruang tamu. Ada kantuk menggantung di matanya. Tampaknya beliau sangat kelelahan karena selalu mengurusi segala kebutuhanku bahkan hal-hal yang paling kecil sekalipun.
Terkadang mama menyempatkan diri untuk menyuapkan satu atau dua sendok makanan kala pisau mengiris-iris lambungku atau saat nyeri menghujam kepalaku. Bahkan beliau masih terjaga selarut ini hanya untuk menungguku.

“Kamu dari mana saja, sayang?” tanya mama dengan lembut. Aku menemukan raut cemas juga guratan-guratan lelah disekitar matanya. Beliau menghampiriku.

“Badanmu dingin sekali. Kamu basah kuyup” ujar mama. Panik.
Aku tersenyum sebagai isyarat pada mama untuk tidak kuatir. Tapi tampaknya usahaku itu tidak berhasil.

Dengan tergopoh-gopoh mama mengambil sehelai handuk. Lalu berusaha mengibaskan sisa-sisa hujan di rambutku dan melingkarkan handuk tersebut di sekujur tubuhku.

“Mengapa tak menunggu hingga hujan reda? Seharusnya kamu menelepon agar papa bisa menjemputmu.” Suara mama terdengar jengkel karena aku sama sekali tak peduli apalagi mencemaskan diriku. Seperti dirinya.
Ah, selalu saja begitu.

Jujur, aku letih menjadi pusat perhatian baik dari Mama, papa atau Mbak Ina. Seolah-olah mereka tak percaya aku bisa bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Dan selalu saja mempermasalahkan hal-hal kecil yang katanya bisa mengusik kenyamananku padahal aku sendiri tidak pernah merasa tidak nyaman. Justru aku gerah dengan semua perhatian mereka.

“Aku tidak apa-apa kok, ma”

Aku mencoba menenangkan mama. Lalu menyematkan binar di wajahku untuk lebih meyakinkan mama. Aku mengambil alih pekerjaan mama dan mulai mengeringkan tubuhku, mengusap pipiku kemudian melilitkan handuk itu di kepalaku.

“Seharusnya kamu menelepon dulu agar mama dan papa tidak kuatir. Kamu ingat khan pesan dokter?”

Ah, yah… pesan dokter. Aku mendesah. Melempar pandang ke petak-petak ubin yang terasa dingin di telapak kakiku. Nanar.

Semenjak penyakit sialan ini bersarang di kepalaku. Sejak itu pula aku tak berhak atas hidupku. Dan vonis dokter adalah klimaks dari belenggu ini Segala hal harus teratur termasuk menenggak berpuluh-puluh pil pahit dan membiarkannya meluncur di tenggorokanku. Katanya untuk mengurangi rasa sakit yang memang selalu menyergap kepalaku tiba-tiba. Aku benar-benar bosan dengan semua itu.

“Kamu harus lebih banyak istirahat. Jangan terlalu lelah. Jangan….”
Lalu berbagai larangan dalam bentuk kata jangan meluncur. Seperti biasa.

Aku cuma mengangguk. Pelan. Lalu melangkah menuju kamar.

Aku merasakan penat di sekujur tubuhku. Bukan saja karena terlalu jauh berjalan tapi karena beban yang bergelayut sejak tadi sore. Ah, andai saja aku bisa menguraikan alasan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Aku bisa sedikit lega. Setidaknya kata rela menjadi akhir yang baik untuk kisah kami. Tapi aku tak mau ada pemeran baru lagi dalam drama memilukan ini. Biarlah.

Baru saja aku hendak menjejal lantai kamar tidurku, tiba-tiba saja aku merasakan beribu-ribu jarum menghujam kepalaku. Menghujaniku dengan nyeri bukan kepalang. Lalu bongkahan-bongkahan es menindih otak bagian belakang. Bertubi-tubi. Lalu nyeri itu menjalar ke seluruh pusat syaraf. Aku berhenti sejenak. Dan memegangi daun pintu yang sekejab saja beralih fungsi sebagai penopangku.

Aku mengigit bibir. Berusaha menahan rasa sakit. Tapi jarum-jarum itu terus saja tumpah ruah di kepalaku.

Bau amis merebak di seluruh ruangan.

Pandanganku mulai mengabur. Dunia seakan berputar serupa spiral. Seluruh perkakas yang ada di ruangan ini pun berubah warna. Abu-abu. Aku mengerang.

“Dinda!!”

Masih sempat aku mendengar mama memekik. Panik. Sebelum kelam menyergapku. Sebelum aku merasakan kaku di setiap sendiku.
Lalu di sekelilingku cuma ada warna hitam. Pekat.
Senyap.

***

Aku masih melangkah. Entah sudah berapa lama. Aku pun tak tahu. Aku cuma ingin melangkah dan terus melangkah. Melarung seluruh duka dalam tetesan air hujan. lalu membiarkannya meluruh menuju laut. Aku sudah terlalu lelah. Bahkan air hujan yang melekat di tubuhku telah mengering sedari tadi. Pertanda sudah cukup lama aku menyusuri malam. Sendirian.

Aku masih tidak percaya dengan pernyataan Dinda tadi. Padahal aku merasa tidak ada yang salah di antara kami. Bahkan kemarin sore kami masih merangkai mimpi bersama-sama. Tak lupa membubuhkan sedikit sumpah dalam kata setia. Manis. Tapi mengapa harus ada kata perpisahan?

Tiba-tiba prasangka memenuhi kepalaku bila gadis yang senantiasa memenuhi rongga hatiku itu ternyata tak merasakan rasa yang sama dengan rasaku. Ah, mungkinkah?

Aku masih terus melangkah. Entah sudah sejauh mana. Aku tak tahu. Aku cuma tahu bila kakiku sudah terlalu penat dan enggan untuk meneruskan perjalanan lagi. Apakah penat itu juga yang memenuhi hati Dinda sehingga dia memutuskan untuk berhenti melukis hari bersamaku? Hah, dadaku sesak.

Aku memasuki pekarangan rumah dengan gontai. Mendorong pintu pagar. Tak bersemangat. Saat ini aku cuma ingin membenamkan penat di ranjang. Lalu terbangun esok pagi dengan seulas sapa hangat. Seperti biasa. Cuma mimpi, demikian aku akan mengguman. Mungkinkah.

Tapi langkahku seketika merandek saat menemukan satu sosok yang mematung di teras. Sosok itu terpaku dengan kepala menunduk.

“Dinda?” desisku. Heran.

Aku mempercepat langkah. Aku ingin memastikan apakah sosok itu benar-benar Dinda. Benar. Itu Dindaku. Ah, ternyata tadi sore cuma bagian dari keisengannya. Ada sedikit lega dalam dadaku.

“Dinda…”

Dia mengangkat wajah. Begitu melihatku, Dinda segera berlari ke arahku. Lalu menghambur dalam pelukanku. Erat sekali.

“Maafkan aku, Re”

Ada isak tertumpah dalam dada. Aku membelai rambutnya. Lembut.
Tidak. Aku takkan pernah bisa mempersalahkan gadis ini apalagi menudingnya sebagai pengkhianat dari sumpah yang pernah kami urai bersama. Akupun tak sanggup bila dia benar-benar menghilang dari tatapanku, seperti sore tadi. Jangan lagi memerankan lakon seperti tadi, pintaku dalam hati.

“Maafkan aku, Re” ucapnya. Berkali-kali. Tanpa henti. Aku mengangguk. Ada seribu maaf untuknya. Selalu.

Aku menuntun gadis itu menuju rumah. Tapi dia menolak. Lalu aku membimbingnya menuju kursi taman. Ah, wajah itu sungguh pucat. ada lelah menggantung di matanya. Bibirnya membiru. Dan tubuhnya terasa begitu beku. Mungkin angin malam telah menyusupkan gigil ke sekujur tubuhnya. Atau mungkin dia terlalu lama memeluk tangis. Dia terlihat begitu keletihan. Ringkih.

Aku pun menawarkan segelas teh hangat. Dia mengangguk. Lalu aku beranjak menuju rumah. Tapi jemarinya menahan langkahku.

“Re, kamu tidak marah padaku ‘kan?” tanyanya. Lagi.

Aku berjongkok. Menyapu wajah gadis itu dengan tatapan lembut. Dia menggigit bibir.

“Aku takkan pernah bisa marah apalagi membencimu, Din,” jawabku. Pasti. Lalu dia memelukku. Erat. Bahkan lebih erat dari sebelumnya. Aku merasakan dingin di sekujur tubuh itu.

“Terima kasih, Re” tuturnya. “ Setidaknya aku bisa lebih merelakan takdir.”

Aku bingung. Tak mengerti sedikit pun.

“Terima kasih,” ulangnya. Lagi. Sesaat sebelum aku menghilang di balik pintu. Dengan tergesa aku melangkah menuju dapur. Menyeduh segelas teh penawar beku.

“Din, ini teh hangat un…”

Ucapanku terhenti. Tak ada siapapun. Aku mencari sosok Dinda di seluruh taman. Tapi aku cuma menemukan sepi.

“Dinda?” panggilku. Tak ada sahutan. Aku celingak-celinguk. Tapi tak jua aku menemukannya.

Dinda?


***

Grek-grek-grek…

Terdengar suara derak-derak roda berpacu dengan panik. Beberapa wajah membiaskan raut cemas dengan napas menderu. Sementara derap langkah tergesa-gesa membuat suasana di tempat ini semakin mencekam.

“Maaf, sebaiknya anda menunggu di luar,” cegah wanita berseragam putih itu. Langkah mama tertahan. Dia menyempatkan diri ‘tuk menjenguk ke arah dalam. Di sana sosok putri bungsunya terbujur kaku dengan wajah kesakitan.

Lampu di atas tulisan ICU menyala. Semua terdiam dalam cemas yang teramat sangat. Papa memeluk mama yang sekuat tenaga menahan isak. Sementara Ina mondar-mandir di depan pintu ruangan berlabel ICU itu. semua membisu dalam kaku.

Sudah hampir 1 jam. Tak ada pemberitahuan apapun. Ruangan itu masih membeku. Tak ada tanda-tanda akan terbuka. Dan mereka terus menggigil dalam cemas.

Krek…!

Pintu menguak. Setiap kepala mendongak. Satu sosok menyembul dari balik pintu.

“Dokter, bagaimana kondisi Dinda?” Cecar mereka dengan napas tersengal. Sosok berseragam putih yang mereka panggil Dokter itu mendesah. Dia mengusap tetes-tetes letih di dahinya. Lalu membuka masker yang membalut hampir separuh wajahnya.

Mereka menahan napas. Berharap bahwa kabar baik yang akan meluncur dari sang dokter. Bukan berharap tapi meminta karena mereka belum siap mendengar hal buruk tentang Dinda.

“Maaf, kami telah berusaha semaksimal mungkin. Tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Kam…”

Belum lagi dokter selesai mengumumkan berita tersebut. Mama telah histeris. Beliau memaksa masuk ke dalam ruangan.
Dinda!!!



***

sebelumnya...

“Lihat, Din. Sepertinya langit mulai mendung,“ ucap Reza dengan gembira sambil menunjuk ke atas. “Sebentar lagi kita akan bermain di bawah Rinai”

Gadis yang ada di sampingnya tak menyahut. Seperti biasanya. Reza bingung karena dia menemukan mendung juga menggantung di mata kekasihnya. Padahal biasanya gadis ini akan menari bersama irama hujan. Menikmati setiap desis angin dan gemericik air.

“Din…” Dinda memalingkan wajahnya

“Re, aku ingin semuanya berakhir.” ujar Dinda

Reza terperanjat.

“Maksud kamu?”

“Aku ingin mengakhiri hubungan ini. Kita mengambil jalan masing-masing.”

“Kamu bercanda bukan? Ini cuma…”

“Tidak, Re. ini bukan sekedar lelucon,” potong Dinda. Cepat.

“Tapi kenapa, Din? Apa aku telah menyakitimu? Apa aku telah membuatmu tidak nyaman? Beri aku alasan untuk menerima keputusan ini.”

Tak ada jawaban.

Dinda cuma menunduk. Reza tak bisa meneriman keputusan ini. Dia terus mencecar gadis itu dengan berjuta kenapa. Tapi Dinda tetap membisu.
“Maaf, Re.”

***

Epilog:

Mendung menggantung di langit. Pekat berarak lalu perlahan-lahan menelan binar mentari. Desik-desik angin bergelayut. Manja. Menyusupkan gigil di setiap sendi.

Reza masih terpaku di sana. Menatap luruh ke arah gundukan tanah yang masih memerah. Dia meraba selembar papan yang menancap di atas gundukan itu. Ada sebaris nama tertulis di sana: Dinda puspita.

Ah, ternyata gadis itu memikul beban yang begitu berat sendirian. Dia tidak mau berbagi karena tidak mau dikasihani bahkan oleh Reza sekalipun. Dia ingin normal seperti gadis-gadis lain walaupun dengan kanker bersarang di kepalanya.

Kelam kian pekat di langit. Gesekan dedaunan juga suara hempasan angin kian kencang. Lalu titik-titik hujan mulai tercurah. Reza beranjak meninggalkan tempat ini. sejenak dia menengadah ke Langit. Lalu melangkah pergi.

Din, Sebentar lagi kita akan bermain di bawah Hujan.

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top