December 2013

Titik Temu

Aku punya aksara, kau punya nada
Aku bernyanyi lewat sajak, kau berpuisi lewat lagu


Lalu kenapa kita tak pernah bertemu?


Jika ku punya rindu, aksaraku katakan lebih dari haru
Jika kau punya rasa, gitarmu mengalun lebih dari indah
Jika ku punya suka, kalimatku mengalun lebih lembut
Jika kau punya luka, nada mu menghujam lebih dalam
lebih dalam..


Lalu kenapa kita tak pernah bertemu?


Mungkin doaku untukmu akan selalu ku lantunkan
Lewat aksara

Mungkin rindu mu untukku akan selalu kau lantunkan
Lewat lagu

Maka kita takkan pernah bertemu




Lalu mengapa kita tak menyatu saja? Kita jadikan aksara dan nada menjadi sebuah senandung yang indah.
Yang akan menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak kita; kelak

Ah, jauh sekali..

...

Doaku untukmu akan selalu ada, selalu
Dalam frasa di tiap aksaraku
dan sampaikan salamku pada denting gitar dan capo kesayanganmu
Kelak; pasti kita berjumpa lagi..

Simpul

"Ikat saja ia, agar tak pernah lepas.
Ikat saja ia, agar kau tak sendirian.
Ikat saja ia, agar kau dapat puas memarahi tingkahnya.
Ikat saja ia, agar tak ada yang bisa memilikinya.."




Terkadang, kita perlu mengikat sesuatu dengan kuat,
contohnya tali sepatu
Jika tak kuat, sepatumu yang akan lepas
Jika tak kuat, talimu yang akan rusak terinjak
Namun, mengikat dengan kuat pun berakibat fatal,
terkadang kau tak percaya dengan simpul pita; maka kau ikatlah sepatumu dengan simpul mati
Kuat, sangat kuat
Namun jika kau terlalu giat berlari, talimu bergesekan dengan sepatu
Lama-lama akan putus talinya
Sudah putus, terkoyak pula
Tidak, sepatumu tak 'kan lepas
Namun talinya yang rusak..




Sama seperti pada hubungan
Kala ku menggenggam pasir terlalu erat, takkan ku dapatkan pasir yang banyak
Jika ku genggam pasir dengan lembut dan perlahan, kan ku dapatkan lebih banyak pasir lagi

Mengapa tak ku genggam saja pasir yang basah? Toh aku bisa menggenggam dengan kuat dan banyak.






Kembali pada tali sepatu,
kala kau ganti tali sepatumu dengan tali yang lain,
Bisa jadi akan lebih kuat
Bisa jadi akan lebih awet
Namun percuma saja jika kau tetap tak percaya pada simpul pita dan kau gunakan ikat mati untuk sepatumu
Toh, tetap akan putus lagi

Seperti tatkala kau menjalani hubungan yang mungkin terlalu membosankan untuk bersama namun terlalu sakit untuk ditinggalkan
Seperti ikatan simpul mati pada sepatu kesukaanmu

Kakimu akan sakit, dan tali mu siap mengendur dan putus
Apalagi, engkau adalah tipikal pengguna septu yang aktif
Mustahil meyambung kembali tali yang sudah putus, kasih..
Mustahil menyambung hubungan yang tak pernah percaya...




Dan semua penyesalan pasti ada di akhir,
Semua yang ku paksakan 'tuk mengikat mati saja sepatumu, agar tak lepas lagi,
Malah membuatmu sakit,
Pun talinya putus
Dan kau pun pergi
Padahal kau mengikat sepatuku dengan simpul pita
kemanapun aku kan pergi; selalu
Jika tatkala talinya mengendur,
Aku sendiri yang akan memperbaikinya
Dengan simpul pita manis yang kau percayakan padaku



Jikalau dapat kuputar waktu,
Dapatkah aku kembali mengikat simpul pita pada sepatumu, kasih?
Atau ku harus menunggu, agar waktu dapat berpihak lagi pada kita,
Suatu saat..




Kasih, aku tak berdusta,
Maafkan khilafku yang mengikatmu terlalu kencang

Dapatkah ku ikatkan kembali simpul manis pada setiap kisah kita yang lampau hari kita perjuangkan?

Celoteh Si Penikmat Rindu

Carilah waktumu; untuk sesekali kita berjumpa.






Mungkin sudah terlalu sering bagimu menerima pesan bahwa aku merindu. Hingga kelamaan rindu yang kumaksud hilang makna,

Atau entahlah, mungkin memang kau butuh waktumu dengan duniamu - yang dahulu sering kau elukan, bahkan kau ajak aku mengenal lebih dalam akan itu.

Mungkin aksara dan waktu tak dapat bicara banyak, mungkin jemari yang selalu merajut kata rindu di tiap pesan yang selalu kukirimkan, tak lagi menjadi haru.

Atau mungkin (lagi-lagi) hanya aku yang salah; aku yang menjadi posesif - mengejarmu, menangkap, yang bahkan kau sendiri enggan kudekap lagi..

Bisa jadi, aku yang memang tak pernah mengerti, akan kesibukanmu, atau aku yang tak pernah menyadari bahwa sebenarnya perjumpaan itu bukanlah sebuah masalah; toh, kau sudah penuhi kewajibanmu memberi kabar bahwa kau sudah bangun, sudah makan, dan bersiap pergi (lagi)?

Apa aku terlalu banyak menuntut? Apa menurutmu hanya bertemu saja menyiakan waktumu? Atau mungkin aku harus menghantuimu kemanapun kau pergi? Apakah aku meminta semua uangmu untuk ku pakai bersenang-senang saat kita bertemu?

Mungkin aku iri, karena kau bisa habiskan segala waktumu untuk duniamu yang ceria, sedangkan jika bersamaku, yang akan kau dengar hanya keluh kesah dan (lagi-lagi) rengekan rinduku?


Tak ada yang tahu.


Aku tak peduli jikalau kau tak merindu jua; sepertiku.
Cukuplah aku yang begitu,


Berbahagialah kau; dan duniamu





Karena mungkin - pada nyatanya, rinduku memang tak lagi membahagiakan..





Jakarta, 23 Desember 2013

Hilang Makna

...Mungkin saat ini, rindu mulai kehilangan maknanya

Alunan hujan dalam perpustakaan membuatku syahdu; sebuah pesan singkat tentang kepulanganmu ke kota asal membuatku haru. Ingin rasanya kulontarkan semua pertanyaan retorika – ya, aku sendiri sudah tahu jawabnya, tapi tetap saja aku ingin bertanya.

Entah apa yang terjadi, diri ini ingin sekali berceloteh banyak. Tentang kepergiannya kemarin, tentang kepergianku meliput berita, tentang perjalananmu menghindari polisi-polisi yang siap menguras isi dompetmu karena kelalaianmu membawa surat nomor kendaraan, dan lain-lain yang sepertinya aku belum (atau aku tidak tahu) ceritanya.

Ya, padahal hanya dalam hitungan hari aku tak berjumpa. Bahkan jam, mungkin. Begitu singkat. Hampir setiap hari aku dapat menyaksikan punggungmu dan layar komputer jinjingmu, sambil memainkan permainan seru dari sosial media facebook, atau sambil ia memainkan lagu-lagu dalam daftar putar iTunes miliknya.
Terlalu banyak mungkin yang akan ku uraikan.

Mungkin aku yang terlalu mengikuti; jika lepas sehari saja aku mulai depresi.

Mungkin aku yang merasa tak ada waktu untuk bersama; padahal hampir setiap hari aku dan dia berjumpa.

Mungkin aku merasa kekurangan waktu bercerita. Merasa kau yang hanya berbagi cerita saat kau akan terlelap dalam mimpi, atau aku yang jarang berbaur dengan duniamu? Entahlah..
Aku sendiri bingung apalagi yang harusnya ku sesalkan? Apalagi yang harusnya kutanyakan, atau kuprotes karena dalam hitungan jam ia akan kembali ke kota asalnya kah?

Atau aku hanya menyesali bahwa segala yang ku buat dari sekian hari yang lalu terasa sia-sia, menjelang satu semesterku bersamanya?




Mungkin saat ini, rindu mulai kehilangan maknanya.
Mungkin saat ini, rindu hanya sebagai pelambang
Mungkin saat ini, rindu hanya simbolis untuk mereka yang dimabuk asmara.
Mungkin saat ini, rindu hanya untuk mereka yang jarang bertemu

Mungkin saat ini, rindu tak lagi milik orang-orang naif 

...sepertiku.




Jatinangor, 16/12/13

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top