Hilang Makna

...Mungkin saat ini, rindu mulai kehilangan maknanya

Alunan hujan dalam perpustakaan membuatku syahdu; sebuah pesan singkat tentang kepulanganmu ke kota asal membuatku haru. Ingin rasanya kulontarkan semua pertanyaan retorika – ya, aku sendiri sudah tahu jawabnya, tapi tetap saja aku ingin bertanya.

Entah apa yang terjadi, diri ini ingin sekali berceloteh banyak. Tentang kepergiannya kemarin, tentang kepergianku meliput berita, tentang perjalananmu menghindari polisi-polisi yang siap menguras isi dompetmu karena kelalaianmu membawa surat nomor kendaraan, dan lain-lain yang sepertinya aku belum (atau aku tidak tahu) ceritanya.

Ya, padahal hanya dalam hitungan hari aku tak berjumpa. Bahkan jam, mungkin. Begitu singkat. Hampir setiap hari aku dapat menyaksikan punggungmu dan layar komputer jinjingmu, sambil memainkan permainan seru dari sosial media facebook, atau sambil ia memainkan lagu-lagu dalam daftar putar iTunes miliknya.
Terlalu banyak mungkin yang akan ku uraikan.

Mungkin aku yang terlalu mengikuti; jika lepas sehari saja aku mulai depresi.

Mungkin aku yang merasa tak ada waktu untuk bersama; padahal hampir setiap hari aku dan dia berjumpa.

Mungkin aku merasa kekurangan waktu bercerita. Merasa kau yang hanya berbagi cerita saat kau akan terlelap dalam mimpi, atau aku yang jarang berbaur dengan duniamu? Entahlah..
Aku sendiri bingung apalagi yang harusnya ku sesalkan? Apalagi yang harusnya kutanyakan, atau kuprotes karena dalam hitungan jam ia akan kembali ke kota asalnya kah?

Atau aku hanya menyesali bahwa segala yang ku buat dari sekian hari yang lalu terasa sia-sia, menjelang satu semesterku bersamanya?




Mungkin saat ini, rindu mulai kehilangan maknanya.
Mungkin saat ini, rindu hanya sebagai pelambang
Mungkin saat ini, rindu hanya simbolis untuk mereka yang dimabuk asmara.
Mungkin saat ini, rindu hanya untuk mereka yang jarang bertemu

Mungkin saat ini, rindu tak lagi milik orang-orang naif 

...sepertiku.




Jatinangor, 16/12/13

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top