Antologi kata; Analogi rasa; Jemari bersabda.
Rasanya aneh ketika kita jatuh cinta, kita seolah tunduk dengan semua pinta. Diperbudak oleh rasa rindu, kasih, hingga ragu dan takut. Segala rasa bercampur padu, terkadang membuat haru, tapi lebih sering membuat sendu.
Bertahan dengan hampa, buat apa?
Setiap pagi kita berkabar dengannya, memberi tahu jadwal masing-masing, bersiap ke kantor, berkabar, sesekali berjumpa di sore hari, dan mengakhiri hari pada persimpangan dimana kau harus berbelok dan ia melangkah maju.
Dan itu berulang, setiap harinya.
Hingga akhirnya lelah, bukan kepada kisahnya, tapi kepada rutinitas yang selalu menimbulkan tanya,
"Seperti apa ujungnya? Bersatu atau menjauh?"
Kita pun bisa saja lelah untuk berpura-pura. Lelah untuk menjalani yang lagi-lagi tak pernah diketahui ujungnya. Kita seolah membuat jebakan sendiri, mempersulit keadaan hingga membuat diri tidak mengerti atas apa yang dilakukan. Jiwa ini semakin bias pada konsep diri berpasangan, entah untuk apa? Apakah yang kita lakukan? Saling cinta, atau hanya saling mengikat dan membuat luka satu sama lain?
Atau mungkin, hanya saya yang tidak bijak dengan diri sendiri? Membiarkan diri ini lagi dan lagi terbius akan cerita dan memaksa semua mengalir, padahal begitu banyak kerikil yang menghambat arusnya? Entahlah.
Asumsi bergejolak dalam benak, pertanda diri butuh istirahat sejenak,
Entah tidur sekejap, atau melepas segala penat
dari rima yang selalu berulang
dari nama yang tak pernah lekang
Satu kalimat yang selalu teringat,
Kau tak bisa memaksa yang kau cinta tumbuh bersama saat cerita hanya diam di tempat tanpa kata.
Setiap kisah tidak selalu rumit, Tuan. Ada kalanya sangat mudah, ada kalanya tak lagi ringan.
Kau tahu? Untukku, perjalanan ini cukup pelik. Memasuki zona waktu dimana mencoba tak mudah percaya, sekalipun itu semua terkait definisi rasa yang terjalin dalam kita, tetapi mungkin kita pura pura tidak merasakan atau anggap saja tak perlu mengatur rencana untuk berlari dan melompat tinggi. Atau mungkin sebenarnya hanya saya yang pura-pura mati rasa?
Saya hampir menyerah, Tuan.
Mungkinkah segala angan mewujud nyata?
Akankah segala cerita tak lagi usang,
Tak perlu lagi tulis - hapus kata untuk nyatakan rasa
Tak ingin segala berlarut,
Atau nyatanya memang kau memilih hanyut?
Tapi tetap saya tahu,
Berani memiliki rasa berarti mempersiapkan diri untuk jatuh,
karena patah hati hanyalah soal waktu
Dan jatuh yang pertama sudah saya rasakan.
Aku ingin terlelap,
Dalam rengkuhmu yang tak pernah gelap
Pada satu hari,
Atau hanya satu kali
Pada satu mimpi yang tak pernah terjadi
_____
Lalu bagaimana, jika ini hanya ilusi?
Semata mendamba hanya untuk malam ini saja?
Atau sebaiknya, aku tak usah beranjak tidur
Agar ceritanya tak lagi luntur
______
Sudah tiga jam berlalu, mengocok-ngocok isi kepala agar segera mengeluarkan muntahannya yang sedari tadi hanya membuat mual tapi tak kunjung berhasil. Entah apa yang saya inginkan beberapa waktu belakangan ini, entah apa yang saya pikirkan juga saya tak mengerti. Pertanyaan tentang selesai kemarin pun tak juga terjawab. Lagu Duta dan kawan-kawan yang sudah tiga kali putaran masih bisa membuat saya menatap layar kosong tanpa tahu mau memulai dengan huruf apa.
Akhirnya, saya putuskan semuanya kembali mengalir; mencoba agar runtutan emosi yang memberatkan kepala ini tercurah sudah.
Saya sedang merasa gagal. Gagal mewujudkan mimpi saya, gagal memenuhi harapan-harapan yang selalu saya rapalkan di sela dini hari. Saya merasa gagal menjadi diri saya sendiri, karena saya tidak tahu apa yang saya inginkan sesungguhnya. Tidak merasa berguna, tidak merasa bermanfaat untuk orang lain. Tidak punya prestasi untuk dibanggakan dan tak punya lagi harapan yang saya ingin capai.
Apa yang sebenarnya saya inginkan?
Saya hanya menjadi saya yang selalu ingin mengabdi dan berbagi, tapi sepertinya apa yang saya bagi selama ini tidak ada manfaatnya untuk diri saya sendiri, apalagi lingkungan saya. Saya tidak butuh prestasi atau apresiasi sih, tapi saya masih merasa kurang untuk orang lain. Saya punya mimpi-mimpi konyol yang masih ingin saya capai, saya punya beberapa harapan yang ingin saya penuhi sebelum 25 tahun. Selama ini saya hanya berpikir, bagaimana cara mewujudkannya, tapi aksi saya masih minim bahkan cenderung nol. Jangan sarankan saya untuk 'berbagi mimpi' kepada orang lain, karena saya harus achieve sendiri. Saya gak mau lagi berbagi mimpi untuk segala yang belum pasti, takut. Pamali. Nuhun,
TAPI SAYA JUGA TIDAK TAHU MAU APA, SAUDARA-SAUDARA!
Sebal ah, dengan diri sendiri. Rasanya kok nggak bisa punya pencapaian yang keren, setidaknya saya sendiri yang anggap itu keren hahaha. Saya mau keren untuk diri saya sendiri, supaya suami saya nantinya nggak malu punya pasangan yang kalau ditanya orang "kerjaannya apa?" jawabnya cuma ketawa. Supaya nantinya saya bisa cerita sama anak saya kalau saya pernah keren dengan apa yang saya lakukan. Bisa jadi contoh dan motivasi supaya anak saya kalau gak mau ngerjain peer gak bilang "lah ibu sih dulu juga males!" hahahaa. Ini ketawa saya yang sebenarnya saya nggak ketawa :')
Bagaimana ya, biar saya bermanfaat?
Have you ever looked into someone’s eyes, and for a split seconds you felt as if you were lost in some kind of time travel machine? It brought you to far distance in the future - unburdened future.
I found
Those innocent and sparkly eyes, and suddenly everything frozen and i was thrown back and forth into a distant space and time.
But i'm afraid --afraid of losing, over and over and over again.
Beberapa waktu ini, saya dibayangi dengan kalimat "selesai dengan diri sendiri". Debat cagub Jabar ada yang menyinggung tentang selesai dengan diri sendiri, saya lupa paslon yang mana. Pun seulas cuitan tentang Presiden kita yang sudah selesai dengan dirinya sendiri memunculkan lebih banyak tanya dalam pikiran saya. Saya tidak mengerti apa maksud dari selesai atas diri kita, apa sih yang diselesaikan? Pekerjaan? Hobi yang minim manfaat? Passion? Atau apa ya, bingung.
Ya, saya dilanda kebingungan dengan kata-kata selesai.
Sempat bertanya kepada orang terdekat, beliau mengatakan bahwa selesai dengan diri sendiri berarti tidak lagi memikirkan diri sendiri, selfless lah. Tapi saya lagi-lagi tidak mendapat poinnya, apa yang selesai? Apa yang diselesaikan?
Jika yang dianggap selesai adalah passion kita, lalu bagaimana dengan cita-cita yang masih ingin dicapai? Lalu bagaimana dengan segala pengalaman berbagi ke penjuru negeri jika kita merasa sudah selesai tapi itu semua belum terwujud dengan maksimal?
Teman saya, saat saya tanyakan apa itu selesai dengan diri sendiri, dia hanya mejawab "Selesai ya selesai aja udah. Kuliah, nilai bagus, kerja sesuai passion, gaji sesuai ekspektasi, karya selalu diapresiasi kantor, lalu mau apa lagi hidup ini? Kawinlah sudah". Lah saya bingung :))))
Saya tetap nggak mengerti, apa maksudnya. Lalu kalau sudah kerja sesuai passion, apakah dia tidak ada mimpi lainnya yang harus dikejar? Apakah dia nggak mau punya pencapaian atas apa yang dia lakukan selama ini, contohnya saya yang masih merasa ingin mengabdi untuk tuhan, bangsa dan almamater negeri ini dengan mengajar, mengajar dan mengajar. Bertemu dengan berbagai macam anak-anak di pelosok negeri, menjadi relawan sana-sini sebagai bentuk pengabdian diri. Saya masih ingin diapresiasi dan mendapatkan pekerjaan yang sekiranya cocok dengan saya. Masih ingin ikut kelas Barista supaya bisa serve kopi yang enak untuk diri sendiri dan sekitar saya.
Saya juga masih ingin menginjakkan kaki kesana-kemari; naik-turun gunung yang tak peduli bersama teman atau sendiri, sekadar untuk apresiasi diri. Saya senang berada di puncak gunung bukan untuk ketenaran di media sosial, melainkan untuk kontemplasi sudah sejauh mana kaki ini melangkah.
Setiap langkah yang saya pijak beberapa waktu belakangan ini menjadi penuh dengan kalimat selesai dengan diri sendiri. Apa yang diselesaikan? Apakah analoginya sama dengan seorang anak yang tuntas mengerjakan PR dari gurunya lalu ia mengerjakan PR lainnya? Kalau begitu, tidak ada selesai yang benar-benar selesai dong?
Lalu saya jadi bertanya dengan diri saya sendiri, kapan saya selesai untuk mengeluh? Kapan saya selesai untuk mengomentari seisi dunia, dimana orang-orang sudah selesai dengan PR-nya dan bersiap menerima PR baru?
Saya sempat dilanda krisis yang tak perlu saya ceritakan disini, intinya gugurlah sudah semangat menggebu saya untuk menjaring bisnis kembali. Bukan rasa tidak percaya diri yang datang, melainkan rasa entahlah-apa-namanya, membuat saya jadi malas memulai bisnis dalam bentuk apapun hingga detik ini. Tapi biar bagaimanapun, saya tetap membutuhkan pekerjaan sampingan diluar pekerjaan kantoran saya. Saya butuh pasangan untuk berkarya, tak mau lagi sendirian. Saya senang melihat saya yang aktif dan selalu tahu apa yang saya mau, tidak seperti saat ini dimana saya hanya mengeluh kenapa saya tidak lagi produktif berkarya. Saya senang menghadapi saya yang bisa bergadang untuk pekerjaan sampingan dan paginya harus bersikap seolah tidur cukup dan bertemu atasan di kantor.
Hingga saat ini, saya selalu bingung jika ditanya "lo mau ngapain?", ya ngapain ya? Tidak tahu. Saya hanya menunggu waktu memberi PR kepada saya. Padahal harusnya, saya yang mengejar 'tugas' tersebut. Saya yang harusnya bangun. Saya yang harusnya berkarya dan merintis lagi apa yang telah hilang: kepercayaan diri saya untuk berkarya.
Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan membuat saya stress sendiri. Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena saya memang tidak tahu saya mau ngapain! Saya hilang kendali, bukan karena orang lain yang hilang, tapi saya yang melenyapkan kendali saya, hingga saya tidak tahu bagaimana caranya mengemudi atas diri saya sendiri. Dan saya memilih untuk memendam itu semua sendiri, saya tidak mau kebimbangan saya malah akan menyulitkan siapapun yang berada di sekeliling saya. Kasihan mereka, memikirkan diri mereka sendiri saja sudah pusing, bagaimana jika harus memikirkan saya yang jelas-jelas tidak penting juga untuk dipikirkan hahahah.
Selesai juga berarti sudah settled dengan segala hal personal, termasuk manajemen stress dan pengendalian diri. Hidup akan kebanyakan warna dan naik-turun jika kita terkadang masih berlaku tidak dewasa (baper), moody, dan I-Need-My-Me-Time.Apa yang saya cari? Apa yang saya mau? Apa yang saya inginkan? Bagaimana saya harus menyelesaikan diri saya jika saya belum merasa berguna untuk siapapun hingga saat ini? Bagaimana jika ternyata saya terlalu mencintai diri saya sendiri dalam hal bermalasan tanpa ada harapan untuk maju? Bagaimana jika sekeliling saya tak ada yang bisa membantu saya menemukan jawaban selesai atas kekacauan yang sudah terjadi?
1-
pada jendela kaca ular besi yang terbuka setengah
___
I mean how, how the world bring us here;
Are we just trapped in time, or you can stay here longer than i expected, or we just don't count the time, as long as we through this 'phase' together?
An unexpected journey with unexpected people from unexpected world.
Sedang merasa seperti Nobita yang banyak ingin tapi tak mau bergerak.
Ingin ini,
Ingin itu,
banyak sekali..
Sayang seribu sayang, saya tidak punya Doraemon yang cukup korak-korek kantong dan menemukan alat untuk menolong Nobita.
Saya sedang merasa seperti Nobita yang tak punya Doraemon. Apa jadinya, ya?
Kemana semangat saya yang dulu?
Tampar saya, siapapun.
Saya butuh maju.
Kamu pernah jatuh cinta namun penuh kekhawatiran?
Seperti ingin berenang tapi takut tak timbul lagi ke permukaan, padahal kamu bisa berenang
Aku takut terlalu dalam, seperti yang lalu, meminta tenggelam
Aku tersesat; dalam jiwa yang selalu mengajak tertawa
Aku tersesat; dalam raga yang berusaha hadirkan tenang
Aku hanyut. Terbawa arus yang cukup deras namun sesekali tenang walau belum mencapai hilir.
Tapi lagi-lagi tuan, aku takut.
Aku bisa merasa bahagia tapi aku takut semua hanya fana, hingga akhirnya terbakar, bersisa jelaga.
Aku khawatir, semua di masa depan adalah masa lalu yang berulang.
Aku terjebak,
Dalam kekhawatiran
Namun aku memang sudah terjebak
Atau aku sebenarnya hanya takut kehilangan yang berulang?
Aku tidak lagi percaya kepada manusia
Siapapun itu
Mulut mereka hanya berisi dusta
Tak lagi yakin untuk satu
Bahkan saat kamu datang, aku tak yakin bahwa kamu akan sama seperti mereka
Atau kamu memang tidak sama dengan mereka
Aku tidak tahu
Jadi, maukah kau tunjukkan segala
Segala apa yang aku tak lagi percaya dari manusia
Segala apa yang tak lagi aku yakini dari mereka
Dan segala yang buktikan kau bukan bagian dari mereka
Sebelum aku ceritakan semua mimpiku tentang kita, yang selalu ku tulis setiap hujan reda, saat pertemuan kita kamis petang lalu
Selamat datang, Petrikor yang selalu datang saat pelangi mulai terlihat semburatnya
Sepertinya kau akan jadi bagian dari drama aksara
Dan semoga, kau bukan bagian dari drama yang ada
Jika kau bisa tunjukkan bahwa semua memang nyata adanya
Dan tak berharap mati dalam tulisan,
Seperti yang pernah ada
Delapan menit sebelum mendarat,
Bahkan pesawatku sudah melesat
Ingin kembali menggapai lengan dan memeluk erat
Jangan pergi, sebelum terlihat
Jika semua memang sudah tersurat
05/04/18
-G-
Di belahan bumi mana lagi
Kita harus berpapasan
Di bagian pulau mana lagi
Kaki kita bertemu dalam pijakan
Di bagian hari mana lagi
Hembus angin memanggilmu, sedu-sedan
Tapi kita tak kunjung jumpa
Dan di bagian detik mana lagi
Aku masih tak bisa menyatakan
Bahwa aku menemukan
Kamu
Yang ingin maju ke depan
Dan rela maju lebih dulu untuk sekadar mundur memberi minum
Menarik tangan dan berlari kedepan
Saat raga ini masih ragu bahkan untuk berjalan
Semesta, aku sedang lelah melaju
Bolehkah ia kupasrahkan padamu?
Kali ini aku tak lagi melawanmu
Silahkan, jalankan rencanamu
Karena takkan ku biarkan lagi siapapun akan hadir hanya untuk buat semua porak poranda
05/04/18
Pada 23.000 kaki
-G-
Saya tidak pernah suka olahraga lari setelah ayah dan kakek saya meninggal dunia.
Pun juga, seseorang meninggalkan saya karena lari. Lebih nyaman berlari berdua dengan yang baru dibanding saya yang hanya suka jogging, ujarnya.
Yang setia akan selalu kalah dengan yang selalu ada memang benar adanya.
Tapi semesta berkata lain,
Sepertinya kali ini saya harus memulai lagi berlari. Sudah terlalu lama aku hanya jalan di tempat, bahkan sekadar mengamati orang-orang yang berlari.
Mereka -- dan kamu, sudah berlari ribuan kilometer
dan saya masih terdiam saja disini,
Saya harus maju,
Harus.
Saat ini aku berjalan dalam kerinduan. Kerinduan akan semua tawa bahagia kala kejutan-kejutan kecil seperti memberikan kue-kue untuk bekal kuliahku, atau membuatkan susu hangat menyambut pagi harimu. Atau hanya kecup mesra keningku sembari berkata bahwa kau mencintaiku. Kerinduan akan gelas-gelas kopi kita dalam gelap malam menanti fajar – kencan terindah yang selalu buat senyumku merekah kala kupejamkan mata dan membayangkanya kembali.
Kata mereka, obat rindu itu jumpa.
Tapi aku ingin bertanya,
Apakah setelah jumpa aku masih bisa katakan rindu?
Mungkin aku masih terus merasa rindu
Karena aku selalu merindukan hatimu yang sedang berkelana
Untuk kembali pulang
___
Ah, hari ini aku tidak lakukan apa-apa
Bolehkah aku hanya merindumu saja?
Semoga kamu juga,
Merinduku
Walau tak sebanyak aku
__
Sejak saya duduk di bangku TK, Kakek sering mengajak saya lari pagi di Pacuan Kuda Pulomas. Sepulang dari lari pagi, sebelum sampai rumah, Kakek mengajak ke warung kopi, membelikan bubur kacang hijau, susu kedelai, serta berbincang tentang salah satu bapak proklamator kita, Bung Karno. .
"Kamu mesti tahu ceritanya beliau lahir. Koesno, Karno, Soekarno. Pinter, sekolah sana-sini. Kamu gitu juga ya" ujar Kakek.
Buku-buku Kakek tentang Soekarno cukup banyak. Buku pertama yang ku baca adalah Soekarno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Ya betul, masih ejaan lama. Tebak, umur berapa saya membaca buku tersebut? 10 tahun. Iya, 10 tahun. Bacaannya sudah berat, ya? 😂 Saya menyelesaikannya dalam kurun waktu 1 bulan. .
"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?"
"Ibunya dari Bali - Brahmana, bapaknya Guru. Bapaknya ngajarin Tat Twam Asi, supaya bisa berempati. Pemahaman Islam dapetnya paling banyak dari HOS Cokroaminoto yang seorang kyai. Terus juga ada cerita Sarinah, yang suka bantu-bantu di rumah, saking sayang dan hormatnya, sama Bung Karno dijadiin nama jalan. Terus sisanya ya perang-perangan gitu tapi sambil debat. Keren." .
Buku selanjutnya yang saya baca adalah buku ini, Sukarno My Friend. Dengan penulis yang sama, Cindy Adams. Bukan biografi, kalau ini lebih banyak perjalanan Adams tentang susahnya menulis dan momen-momen apa yang tertangkap saat ia menulis tentang Soekarno.
Selanjutnya apa lagi? Banyak!
Saat SMP-SMA, saya dipinjamkan buku yang saya lupa judulnya, tentang istri-istri Bung Karno. Saya kesulitan menghafal kesembilannya: Siti Oetari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar. .
"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?".
"Gimana rasanya jadi istri-istri kesekian ya? Mau karena pamor, atau memang beneran sayang? Cuma 2 istri yg bener-bener dicinta" .
"Hahaha kamu ini, ambil positifnya buang sing elek nya, wes, jangan sampai begitu ya nanti"
___
Katanya, waktu itu krisis ekonomi Asia. Dimulai dari Thailand yang Baht-nya merosot tajam, berimbas ke negara sekitarnya, termasuk negara kami. Aku tidak tahu.
Katanya, IMF pinjamkan uang supaya kami nggak kalah dengan Dolar dan saham bisa naik. Devaluasi, perusahaan mulai banyak yang pailit. Aku tidak tahu.
Katanya juga, waktu itu ada presiden negara kami yang bertangan dingin membangun negeri. Aku tidak tahu.
Aku hanya tahu, menonton Let's Go jam 07:00 pagi, Chibi Maruko-Chan jam 07:30, Doraemon jam 08:00, Crayon Shinchan jam 08:30 sambil tandem menonton Detective Conan.
___
Katanya, mulai masuk era krisis moneter
Katanya, yang nomor satu mau diganyang lengser
Aku hanya tahu, Shinchan sukanya bésér
Apakah salah mereka inginkan saya
Walau saya tak pernah jadi yang utama?
Apakah salah saya menuntut kasih
Walau saya tak butuh dikasihani?
Apakah salah saya menjadi bayang
Walau tak diakui kesetiaannya?
Seharusnya saya mencari yang lain, bukan milik anda
Saya tahu
Saya tak pernah mau
Saya tak pernah ingin
Saya hanya anjing yang lewat depan rumah, dipanggil pemilik rumah, diberi makan, dielus, dimanja, lalu diusir pergi. Esoknya dipanggil lagi. Jadilah sebuah kebiasaan.
Dan anda juga tahu, melatih anjing memang sulit.
Tapi, anjing itu setia.
Jadi, wajar kan jika saya tak mau pergi?
Tapi apakah salah saya mencintai ia yang sejak lama hadir sebagai kawan
Dan terlambat menyadari
Bahwa saya menginginkannya
Saat janur kuning tiga tahun lalu sudah melengkung di depan rumahnya?
___
Mereka selalu berkata,
"Kamu tak tahu rasanya diselingkuhi!" .
.
Seketika saya ingin bertanya kembali, .
"Memang kamu tahu rasanya tak diakui?"
Silakan masuk
Ambil nomor antrianmu
Duduk disini
Sebentar lagi akan tiba
___
Ada yang menghabiskan waktunya sambil menunggu dengan bermain gawai, berdiskusi dengan orang yang juga mengantri, menonton televisi, atau sekadar diam membaca buku.
Ada juga beberapa orang yang khusyuk memanjat doa dengan menengadah kedua tangan, memencet-mencet buku jari, komat-kamit lewat iringan Doa Bapa Kami. Pun ada yang ibadah dengan mata terpejam, kaki diselipkan ke kaki lainnya, kepala tertunduk dan mendengkur. Ya, itu juga bagian dari ibadah.
Ada pula yang tak bisa diam sepertiku. Mondar-mandir menelisik seisi ruang, memantau raut wajah tiap-tiap orang yang mengantri, membaca tulisan berjalan di televisi, atau bahkan iseng membaca tulisan yang jaraknya sekian meter dariku hanya untuk menguji apakah rabun jauhku bertambah dari hari ke hari.
Lewat jam sepuluh, banyak raga beranjak pergi. Ada yang menggerutu dengan penjaga loket, penjaga parkir, bahkan menggerutu lewat media sosial yang terhubung dalam gawainya. Mereka katakan, menunggu itu tidak enak. Mereka yang seharusnya bisa mengerjakan pekerjaan lain, dipaksa habis waktunya untuk menunggu tapi tak kunjung temu. Yang pergi karena tidak nyaman juga ada. Katanya, terlalu panas. Kursi yang disediakan untuk duduk tidak nyaman. Tidak ada fasilitas yang ditunjang untuk menunggu.
Apakah menunggu merupakan sebuah hal yang membuat tidak nyaman?
Jelas! Ketidakpastian akan waktu. Yang dijanjikan tak kunjung datang. Yang diharapkan hanya menguap seperti seorang ngantuk yang membunuh waktu lewat tidur.
___
Ah, nomorku sudah terpanggil. Jadi lebih cepat karena banyak yang memutuskan pulang. Tidak selamanya, menunggu itu hal yang buruk.
Hanya karena semua itu mungkin datangnya tidak secepat dan semudah yang ku bayangkan, aku selalu percaya, sesuatu yang tepat dan baik itu memang pantas untuk ditunggu.
Semoga.
___
Tulisan ini adalah bagian dari 30 Hari Bercerita di Instagram, dimana saya cukupkan menulis disana di hari ke-15. Rumah saya bukan di sana, ternyata. Saya lebih suka satu arah disini. :)
Sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai berakhirnya kehidupan ini, saya akan tetap menjadi seorang yang tak peduli apa kata orang lain. A friend of mine said that i'm the best pretender that she ever seen. Saya akan tetap menjadi saya yang enggan mati sebelum segala impian saya terwujud, bertahah hidup hanya dengan cinta yang singgah tapi saya tak tahu apakah kau sungguh.
Benar, saya lah si lemah yang berlagak egois ingin memiliki semua. Saya yang tak pernah mengerti kesedihanmu. Kamu yang selalu katakan bahwa elegi ini hanya sekejap; sesaat lagi kamu akan pulang. Pulang kemana? Kepada saya, iya kan? Bukan seharusnya seperti itu?
Saya masih menjadi saya yang kau kenal, tak berubah sejengkalpun walau seringkali saya ketakutan akan emosi saya yang seketika memuncak marah lalu menangis sejadi-jadinya. Saya masih jadi si egois yang selalu ingin segala tempat pertama yang kita datangi harus bersama. Saya masih jadi si egois yang selalu tak paham alur pikiranmu yang ingin obrolan tenang namun saya selalu menuntut bicara rasa. Ya, saya masih jadi si egois yang menuntut kamu memilih, saya tak bisa berjalan dengan kepala yang ingin meledak karena cemburu tapi hati ini masih ingin bersamamu, dan tak ingin mundur sedikitpun.
Saya tak meminta kamu untuk merasakannya, sungguh. Kamu takkan kuat.
Sayang, kau laki-laki yang tetap akan membara meski hatimu mulai padam untuk saya. Saya pernah membaca sebuah prosa darinya, bahwa dia tidak akan meninggalkanmu karena kamu dunia baginya. Tapi pernahkah kau tahu, bahwa kau adalah oksigen untuk saya. Tanpamu, saya mati.
Saya takkan pergi; saya katakan, saya takkan pergi. Meski saya tahu, dengan keegoisan saya, malah kamu yang takut. Kamu yang lari. Kamu yang memilih sepi padahal hatimu hanya kalut untuk memilih. Tapi lihat lah aku, dengan pilihan sampai mati yang ku pilih. Dengan pertahanan saya untuk selalu menjadi rumah untukmu sambil menyapu halamannya, mengusir siapapun yang akan datang. Selesaikan, dan pulanglah kesini, sayang. Kita rayakan kemenangan walau saya tahu itu menyakitkan untukmu. Maka izinkanlah, aku merayakan kehilanganmu dengan cinta kita yang akan semakin kuat. Dengan kapal yang lebih kuat mengarung di samudera lepas; abadi.