2018

Sajak yang Tak Indah




Ini mungkin bukanlah sajak terbaik yang ku rajut, tapi inilah apa adanya: Sebuah sajak yang tak indah

Gema kembang api melejit ke angkasa
Bersama gemercik hujan yang turun
di awal tahun yang baru

Aku tak ingin merangkai yang indah-indah
Karena semua mungkin saja hanya kata
Bukan tindakan yang sugguh nyata manusia mampu lakukan

Sudahlah, tak perlu bermanis manja!
Semua kemesraan tak lagi ada guna
Bukankah sebaiknya tindakan yang kelak menjadi nyata?

Waktu berlalu begitu cepat
Hampir setahun waktu berjumpa
Menapaki alur yang begitu saja

Kalimat aksara penuh kata merindu sebuah raga
Tak lagi ada
Sembuyi ia ragu memunculkan nama

Betapa anehnya sajak ini
Tak punya rima bagai kepala yang tak ada isinya
Bagai elit politik pendukung satu dan dua

Bagai mereka yang kosong tapi nyaring
Susah-susah kuliah di luar negeri
Hanya buat telinga khalayak berdengung

Yang pada akhirnya
Aku menyerah
Pada bahumu yang sesekali ku gigit manja
Tempatku nantinya berkeluh kesah
Dibawah pelita bulan purnama bukan Basuki Tjahaja

Atau jika kau ingin sajak ini lebih indah
Akan ku percantik degan cerita anak-anak bulu
Yang setiap hari harus berebut mencari peluk
Lewat bahumu yang tak pernah sendu

Dan pada setiap peluh,
Lagi-lagi aku terjatuh
Merangkai sajak yang tak pernah indah
Untuk kita; pada setiap langkah

-

01/01/19
-G-





Kurang Tidur

Rasanya aneh ketika kita jatuh cinta, kita seolah tunduk dengan semua pinta. Diperbudak oleh rasa rindu, kasih, hingga ragu dan takut. Segala rasa bercampur padu, terkadang membuat haru, tapi lebih sering membuat sendu.

Bertahan dengan hampa, buat apa?

Setiap pagi kita berkabar dengannya, memberi tahu jadwal masing-masing, bersiap ke kantor, berkabar, sesekali berjumpa di sore hari, dan mengakhiri hari pada persimpangan dimana kau harus berbelok dan ia melangkah maju.

Dan itu berulang, setiap harinya.

Hingga akhirnya lelah, bukan kepada kisahnya, tapi kepada rutinitas yang selalu menimbulkan tanya,

"Seperti apa ujungnya? Bersatu atau menjauh?"

Kita pun bisa saja lelah untuk berpura-pura. Lelah untuk menjalani yang lagi-lagi tak pernah diketahui ujungnya. Kita seolah membuat jebakan sendiri, mempersulit keadaan hingga membuat diri tidak mengerti atas apa yang dilakukan. Jiwa ini semakin bias pada konsep diri berpasangan, entah untuk apa? Apakah yang kita lakukan? Saling cinta, atau hanya saling mengikat dan membuat luka satu sama lain?

Atau mungkin, hanya saya yang tidak bijak dengan diri sendiri? Membiarkan diri ini lagi dan lagi terbius akan cerita dan memaksa semua mengalir, padahal begitu banyak kerikil yang menghambat arusnya? Entahlah.

Asumsi bergejolak dalam benak, pertanda diri butuh istirahat sejenak,

Entah tidur sekejap, atau melepas segala penat
dari rima yang selalu berulang
dari nama yang tak pernah lekang

Satu kalimat yang selalu teringat,
Kau tak bisa memaksa yang kau cinta tumbuh bersama saat cerita hanya diam di tempat tanpa kata.



24/10/18
-G-

Dua Puluh Empat dan Segala Prasangka



Yap, betul sekali saudara-saudara. Tahun ini saya berusia dua puluh empat tahun. Sebuah usia dimana sebentar lagi sudah bukan dewasa-muda, melainkan setengah tua hahaha.



Usia tidak pernah menjadi momok yang menyeramkan untuk saya, apalagi terkait hal yang berbau pernikahan dan kesuksesan. Dimana, orang-orang seusia saya, bahkan mungkin anda yang sedang membaca cerita ini pun memiliki ketakutan pada quarter life crisis.

Banyak hal yang terjadi di kehidupan saya belakangan ini. Teman-teman sekeliling yang mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing (karir, keluarga, dsb) hingga lingkar terdekat saya yang hanya bersisa keluarga. 

Terlintas saya berfikir tentang keluarga. Iya, berkeluarga. Sesiap apa saya untuk membagi separuh hidup saya dengan orang lain?

Berkeliaran di beranda media sosial terkait segala rencana berkeluarga, memesan katering, dekorasi yang unik dan menarik. Begitu pula, kehidupan setelah menikah. Merencanakan sesuatu, memiliki anak, yang notabene di pikiran saya hanya ada tiga hal: Uang, uang dan uang.

Rezeki memang tidak akan kemana. Iya, saya mempercayai Tuhan dan pikiran saya. Tuhan akan mencukupkan selama saya mampu berusaha dan berkembang. Tapi jika dibandingkan dengan realitas saat ini, berapa sih tabungan yang saya punya untuk hidup dengan pasangan saya kelak? 

Saya ingin hidup yang lebih logis. Menikah bukan perihal ndusel bersama, tapi merancang hidup dan meghabiskan hidup dengan orang yang nyaman.

Kelak, saya akan meminta pasangan saya untuk membuatkan proposal dan segala yang saya selama ini mungkin tidak ketahui, seperti proyeksi keuangan hingga hutang kepada kolega. Hal ini untuk mencegah agar kedepannya kami tidak dihantui masalah dan/atau dapat kami selesaikan bersama. Proyeksi keuangan juga perlu, seperti uang masuk dan keluar selama ini untuk apa saja. Saya harus pastikan semua terjabarkan dengan baik. 

Terkait uang suami dan uang istri, saya tidak meminta pasangan saya nantinya untuk memberikan seluruh uangnya pada saya, tapi terkait cashflow dan keperluan kami berdua harus sama-sama terbuka. Menyisihkan satu tabungan untuk belanja bulanan sepertinya akan lebih baik dan autodebt dari tabungan kami masing-masing. Saya sadar, bahan pokok mahal. Yakali cuma mau dimodalin laki aja. Itulah sebabnya, saya mau kerja. Saya nggak mau cuma mengandalkan pasangan saya kelak.

Kemudian, saya ingin sekali pasangan saya dapat mengizinkan saya untuk bekerja, baik di kantoran maupun dirumah.

Dahulu, saya memiliki keinginan untuk membuka usaha sendiri atau bekerja paruh waktu saja yang dijalankan dari rumah, semisal nantinya saya memiliki anak. Tapi saya pun ingin bersosialisasi dengan dunia luar, bertemu dengan orang-orang baru. Saya mengharap pasangan saya kelak mengizinkan perempuan yang tidak bisa diam ini untuk bebas memilih pekerjaan apapun yang layak baginya, selama masih manusiawi. Bekerja di rumah maupun kantoran, semoga kelak ia dapat mengerti bahwa perempuan harus beraktivitas, tidak hanya memikirkan dapur-sumur-kasur.

Plus, menerima apa adanya bahwa saya tidak bisa dandan dan mau menerima saya apa adanya :((((  hahahhaa

Saya pun ingin pasangan yang terbuka, yang kelak dengan bangganya mengenalkan diri saya pada rekan-rekan maupun keluarganya dengan baik dan menjaga segala rahasia atau aib kami berdua untuk cukup didengar oleh telinga kami, tidak untuk orang lain sekalipun keluarga. Maka dari itu juga, saya mau bekerja dan beraktivitas di luar, supaya yaaa kalau dipromosikan kepada teman atau keluarga, ada lah nilai plus nya. Udah nggak cakep, ngga ngapa-ngapain dirumah, sedih amat. 

Terakhir, saya membutuhkan pasangan yang ikhlas sampai mati saya bawelin :( saya sadar diri kadang saya sangat cerewet dan bahkan cerita hal-hal yang kurang penting, mama saya saja sudah lelah sepertinya menanggapi cerita saya. Kalau saya bawel terus pasangan saya nggak mau mendengar cerita receh saya, ibarat dalam penjara seumur hidup :(((

Lho, kenapa keimanan nggak dimasukkin disini?

Menurut saya, keimanan itu kewajiban pasangan satu dan lainnya untuk saling mendukung, menjaga dan membawa ke jalan yang lebih baik. Tidak perlu berharap yang shalatnya kenceng lah sampai sunnah dan qunut, ikut majelis, ataupun hafal kitab-kitab. Saya butuh pasangan yang mau belajar, siap belajar bersama, dan juga mengajarkan. Saya pun yakin, jika keimanannya kuat pun dia tidak perlu meminta kesediaan saya, melainkan langsung weh lah ke mama urangBrave enough?


Duh, kenapa jadi bahas pasang-pasangan kawin-kawnan sih?

Ya ini karena saya lagi nggak bisa tidur aja. Pikiran kemana-mana, dan sepertinya saya perlu menulis ini sebagai pengingat bagi siapapun kelak yang bersedia (anjay sedih bgt w) , setidaknya kamu tidak berjuang sendirian. Saya sedang memantaskan diri.

Namun jika kelak saya dipertemukan lebih cepat, semoga Tuhan memberi jalan. Seperti doa yang selalu saya pinta:
Jika ia, pantaskanlah. Jika bukan, lepaskan dan ikhlaskan,

Bukankah mencapai ikhlas ialah tingkat keimanan yang paling tinggi?



Pada perjalanan mesin waktu
membawa kita pada dialektika
Apakah rima menjadi satu
atau bukan kamu, cerita dibalik kita


😊

I shouldn't expect or hope for anything else.

Pada Laju Kereta

Ada sebuah rasa yang menikam mataku. Serupa sekuntum rindu yang ragu bertuan.


Siapa yang datang dan siapa yang pergi?


Pada stasiun tempat berhenti, gerbong ketiga dari depan arah kereta tiba. Yang tiba turun, yang belum terus berlanjut.

Setiap cerita selalu punya tanda tanya, dan setiap tanda tanya kelak dapat dirangkai jadi satu makna.


Siapa yang datang dan siapa yang pergi?


Tenang saja, ini hanya keluhan semata. Semua juga tahu, bahwa stasiun sudah biasa jadi tempat bertemu dan berpisah setiap harinya. Tidak perlu disembunyikan, karena mungkin hari ini aku cukup manja dan lelah bertanya-tanya.


Jadi, siapa yang datang dan siapa yang pergi?


Ah, semoga kelak akan tiba jawabnya, atau hilang begitu malam perlahan sirna.

Jadi, bagaimana?

Bagaimana agar tidak terjatuh, jika roda selalu memutar laju?

Bersiap untuk Jatuh

Setiap kisah tidak selalu rumit, Tuan. Ada kalanya sangat mudah, ada kalanya tak lagi ringan.


Kau tahu? Untukku, perjalanan ini cukup pelik. Memasuki zona waktu dimana mencoba tak mudah percaya, sekalipun itu semua terkait definisi rasa yang terjalin dalam kita, tetapi mungkin kita pura pura tidak merasakan atau anggap saja tak perlu mengatur rencana untuk berlari dan melompat tinggi. Atau mungkin sebenarnya hanya saya yang pura-pura mati rasa?


Saya hampir menyerah, Tuan.
Mungkinkah segala angan mewujud nyata?
Akankah segala cerita tak lagi usang,
Tak perlu lagi tulis - hapus kata untuk nyatakan rasa
Tak ingin segala berlarut,
Atau nyatanya memang kau memilih hanyut?


Tapi tetap saya tahu,
Berani memiliki rasa berarti mempersiapkan diri untuk jatuh,
karena patah hati hanyalah soal waktu


Dan jatuh yang pertama sudah saya rasakan.




Keraguan yang tak kunjung habis

Jam sepuluh malam, dalam perjalanan menuju rumah. Pekerjaan yang harusnya saya selesaikan lebih dulu terhalau oleh pikiran-pikiran menguras tenaga.

Kali ini, tentang apa yang ingin dicapai dalam hidup.

Apa sesungguhnya motivasi manusia untuk hidup? Nampak beberapa manusia --- bahkan sebagian besar termasuk saya, tidak tahu apa yang ingin dicapai dalam hidup.


Lusa kemarin, saya melihat sepasang suami-istri muda, dengan wajah lelah duduk di dalam kereta menuju Bogor usai memikul televisi baru yang sepertinya dibeli di daerah Glodok. Raut wajah senang terpancar, namun penat lebih cenderung ditunjukkan oleh pasangan itu.
Sambil memegang televisi barunya, sang istri sambil memejamkan mata lunglai bertumpu pada bahu suaminya --- yang juga lemas dan lebih banyak menunduk. Entah apa gerangan yang ada dalam pikiran mereka.



Saya menduga-duga, apa sesungguhnya masalah yang mereka berdua hadapi? Apakah mereka bingung membayar cicilan televisi tiga puluh dua inci yang baru saja mereka beli? Atau mereka salah perhitungan harusnya mereka membeli mesin cuci atau kompor terlebih dahulu? Atau mereka sebenarnya hanya kelelahan menuju rumah yang tak di pusat kota (seperti banyak keluarga baru yang memilih rumah di daerah suburban Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi)?

Tak terasa saya menitikkan air mata membayangkan keluarga kecil tersebut. Membayangkan bagaimana masa depan saya saat berkeluarga nantinya. Saya membayangkan bagaimana nantinya berkutat dengan kalkulator bersama pasangan hanya untuk mempertimbangkan beli ayam atau telurnya, atau membatasi listrik rumah dengan tidak menyalakan hair dryer setiap harinya, karena watt-nya cukup besar, berdampak pada token yang cepat habis.


Tidak, tidak.. bukan saya tidak mau hidup susah. Bukan pada bagaimana berjuang untuk hidup susahnya yang saya bayangkan (terima kasih, papa dan mama yang memberi saya ruang untuk hidup hemat sejak dulu), tapi yang saya bayangkan adalah betapa masalah akan terus hadir, sendiri ataupun berdua. Saya yakini, menurut kitab dan tetua katakan dimana menikah itu membuka pintu rezeki (dan rezeki tidak hanya berdasarkan uang).


Melihat pasangan tersebut, saya sadar bahwa pada akhirnya hidup hanyalah tinggal sendiri atau berdua. Tidak lagi cerita 'dapur' bisa diceritakan kepada sahabat, sekalipun selalu bersama sejak kecil. Mind your own f*ckin' relationship, they said. Tidak lagi ada drama-drama pasangan ngambek tidak mau makan dan pasangannya menjadi cenayang menerka pasangannya ingin apa. Semua harus dibicarakan. Memiliki teman untuk beribadah hingga bergosip. Tidak bisa lagi, pasangan ceroboh masakannya gosong dan uring-uringan seharian.


Saya membayangkan, kedepannya akan terus ada gejolak hidup, dan begitu terus hingga Tuhan panggil saya untuk selesai bertugas di dunia.


Nah, tugas apakah yang Tuhan inginkan saya untuk jalankan sebaik-baiknya? Apakah saya akan jadi pengusaha yang bisa saya remote kerjaannya dari rumah sehingga anak saya kelak tidak kehilangan masa tumbuh kembangnya? Atau saya akan jadi pekerja kantoran, kembali duduk di bangku agency melayani klien yang maha benar, atau malah duduk di bangku Chitose dan mendalami pelajaran new media? Atau sebenarnya, Tuhan hanya minta saya kembali ke masyarakat dan hidup bersosial, membuat kampanye dan juga menjadi tenaga pengajar bagi adik-adik yang membutuhkan? Saya belum memutuskan.


Jika harus berbagi hidup, dengan siapakah pasangan saya nantinya? Apakah saya harus sakit kepala dengan tingkah pasangan yang tidak mau cuci kaki sebelum ke kasur, atau sebenarnya saya pun juga menyebalkan di mata pasangan saya kelak?


Lagi-lagi, ragu apa yang baru saja saya uraikan? Untuk apa menakuti sesuatu yang belum tentu akan terjadi?

Rima Antar Jeda

Aku mengerti setiap langkah selalu ada jeda
Jeda yang berulang, mencipta beda
Beda yang selalu kita debat hadirnya
Tak luput berulang dua-tiga


Perlahan sedang ku coba
Mengusir jeda pada hembusan
Namun ternyata sesak
Berakhir sedu-sedan


Tak pernah berjanji
Tapi raga ini terseok-seok, tuan
Mencari rumah untuk sembunyi
Atau sekadar menggantung doa-doa harapan


Bukankah kita semua enggan diberi harap?


Lantas apa yang menghidupkan jiwa
Selain kapal menuntut muara
Atau memilih menikmati suasana
Pada kapal kayu lapuk di tengah samudera?

Memang rindu tak harus bertuan,
Tapi rindu butuh tempat untuk bersandar
Atau lebih baik ku benamkan saja semua ragu di dasar lautan
Hingga kau tak pernah sadar

Bahwa aku juga bisa merindu
Tanpa perlu kau tahu rimanya

Dongeng Sebelum Tidur

Aku ingin terlelap,
Dalam rengkuhmu yang tak pernah gelap

Pada satu hari,
Atau hanya satu kali

Pada satu mimpi yang tak pernah terjadi

_____

Lalu bagaimana, jika ini hanya ilusi?
Semata mendamba hanya untuk malam ini saja?

Atau sebaiknya, aku tak usah beranjak tidur
Agar ceritanya tak lagi luntur

______

Siapa Kau Sebenarnya?

Mungkinkah kau sebenar-benarnya pelintas waktu; terbang dari masa depan, melewati ribuan andromeda untuk bisa melambai dan mengulurkan tangan dalam kerumunan petang itu, menentang gravitasi dan segala gerak materi.

Mungkin kau memang bukan mahluk bimasakti, entah kau berasal dari Kripton atau Namec --atau dari planet Megathobia. Jujur saja pada ku, kau sebenarnya datang dengan mesin waktu, tersesat di bumi dan ditemukan di bukit belakang sekolah oleh Nobita, kan?

Tapi, jika kau memang benar adanya datang dari masa depan, sepertinya tidak mungkin. Selain menentang termodinamika kedua, memutarbalikkan waktu berarti juga memutarbalikkan momentum pergerakan seluruh partikel di alam semesta. Sulit sekali rasanya perjalanan kau merubah pergerakan alam semesta untuk menemui saya.

Tutup cerita tentang perjalanan ke masa lalu. Mari kita coba gunakan kiblat Hawking yang tak percaya mesin waktu bisa dibuat. Kau muncul dari alam semesta lain. Hal termudah dari memahami itu semua ialah lewat kebetulan. Kita buat probabilitas atas apa yang terjadi di sore itu, mengalikan segala kebetulan atas tindakan yang akhirnya kau bulatkan. Atau malah sebenarnya, kita hanya berjalan dalam Deja Vu?

Astaga! Bagaimana kalau kita sudahi percakapan atas dunia kuantum yang tak kunjung selesai dibahas ini? Newton sudah katakan berulang kali bahwa tidak ada yang pasti di dunia ini, karena semua hanya kebetulan. Anggap saja, pertemuan kita ialah sebuah kebetulan. Skenario yang tak akan pernah terencana.

Lelah menerka, siapa kau sebenarnya. Menjelajah ruang, terjerembab dan bertemu dengan saya sepertinya bukanlah hal indah yang kau harapkan. Atau memang kau tak ingin lagi melesat cepat; memilih melambatkan waktu agar bisa menyamai dunia pararel yang saya miliki. Tapi, untuk apa?

Jika seseorang bisa melakukan perjalanan dengan kecepatan cahaya, mereka akan menjadi abadi.

Atau sebaiknya saya saja yang mengatur waktu agar bisa menyamai kecepatanmu? 

Hmm, kalau begitu, mari ajarkan saya untuk melesat dengan kecepatan cahayamu! Menjelajah waktu di masa depan, tanpa perlu khawatir dunia pararel siapa yang sedang disinggahi. Satu frekuensi yang padu, kata mereka.

Entahlah, kebetulan apa lagi yang akan tercipta pada tiap-tiap detik yang akan kita lalui?





Jika menjelajah masa lalu bertentangan dengan hukum fisika, bagaimana dengan perjalanan ke masa depan? Masihkah berkutat dengan segala kebetulan?




Tunjukilah kami jalan yang lurus,(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS 1:6-7)



28/5/18
-G-

Isi Kepala Belakangan Ini

Sudah tiga jam berlalu, mengocok-ngocok isi kepala agar segera mengeluarkan muntahannya yang sedari tadi hanya membuat mual tapi tak kunjung berhasil. Entah apa yang saya inginkan beberapa waktu belakangan ini, entah apa yang saya pikirkan juga saya tak mengerti. Pertanyaan tentang selesai kemarin pun tak juga terjawab. Lagu Duta dan kawan-kawan yang sudah tiga kali putaran masih bisa membuat saya menatap layar kosong tanpa tahu mau memulai dengan huruf apa.

Akhirnya, saya putuskan semuanya kembali mengalir; mencoba agar runtutan emosi yang memberatkan kepala ini tercurah sudah.

Saya sedang merasa gagal. Gagal mewujudkan mimpi saya, gagal memenuhi harapan-harapan yang selalu saya rapalkan di sela dini hari. Saya merasa gagal menjadi diri saya sendiri, karena saya tidak tahu apa yang saya inginkan sesungguhnya. Tidak merasa berguna, tidak merasa bermanfaat untuk orang lain. Tidak punya prestasi untuk dibanggakan dan tak punya lagi harapan yang saya ingin capai.

Apa yang sebenarnya saya inginkan?

Saya hanya menjadi saya yang selalu ingin mengabdi dan berbagi, tapi sepertinya apa yang saya bagi selama ini tidak ada manfaatnya untuk diri saya sendiri, apalagi lingkungan saya. Saya tidak butuh prestasi atau apresiasi sih, tapi saya masih merasa kurang untuk orang lain. Saya punya mimpi-mimpi konyol yang masih ingin saya capai, saya punya beberapa harapan yang ingin saya penuhi sebelum 25 tahun. Selama ini saya hanya berpikir, bagaimana cara mewujudkannya, tapi aksi saya masih minim bahkan cenderung nol. Jangan sarankan saya untuk 'berbagi mimpi' kepada orang lain, karena saya harus achieve sendiri. Saya gak mau lagi berbagi mimpi untuk segala yang belum pasti, takut. Pamali. Nuhun,

TAPI SAYA JUGA TIDAK TAHU MAU APA, SAUDARA-SAUDARA!

Sebal ah, dengan diri sendiri. Rasanya kok nggak bisa punya pencapaian yang keren, setidaknya saya sendiri yang anggap itu keren hahaha. Saya mau keren untuk diri saya sendiri, supaya suami saya nantinya nggak malu punya pasangan yang kalau ditanya orang "kerjaannya apa?" jawabnya cuma ketawa. Supaya nantinya saya bisa cerita sama anak saya kalau saya pernah keren dengan apa yang saya lakukan. Bisa jadi contoh dan motivasi supaya anak saya kalau gak mau ngerjain peer gak bilang "lah ibu sih dulu juga males!" hahahaa. Ini ketawa saya yang sebenarnya saya nggak ketawa :')

Bagaimana ya, biar saya bermanfaat?


Paranoid

Have you ever looked into someone’s eyes, and for a split seconds you felt as if you were lost in some kind of time travel machine? It brought you to far distance in the future - unburdened future.

I found
Those innocent and sparkly eyes, and suddenly everything frozen and i was thrown back and forth into a distant space and time.

But i'm afraid --afraid of losing, over and over and over again.


I'm afraid of losing myself

I fall,
too far, too deep

too much..

Sudahkah saya selesai?

Beberapa waktu ini, saya dibayangi dengan kalimat "selesai dengan diri sendiri". Debat cagub Jabar ada yang menyinggung tentang selesai dengan diri sendiri, saya lupa paslon yang mana. Pun seulas cuitan tentang Presiden kita yang sudah selesai dengan dirinya sendiri memunculkan lebih banyak tanya dalam pikiran saya. Saya tidak mengerti apa maksud dari selesai atas diri kita, apa sih yang diselesaikan? Pekerjaan? Hobi yang minim manfaat? Passion? Atau apa ya, bingung.

Ya, saya dilanda kebingungan dengan kata-kata selesai.

Sempat bertanya kepada orang terdekat, beliau mengatakan bahwa selesai dengan diri sendiri berarti tidak lagi memikirkan diri sendiri, selfless lah. Tapi saya lagi-lagi tidak mendapat poinnya, apa yang selesai? Apa yang diselesaikan?

Jika yang dianggap selesai adalah passion kita, lalu bagaimana dengan cita-cita yang masih ingin dicapai? Lalu bagaimana dengan segala pengalaman berbagi ke penjuru negeri jika kita merasa sudah selesai tapi itu semua belum terwujud dengan maksimal?

Teman saya, saat saya tanyakan apa itu selesai dengan diri sendiri, dia hanya mejawab "Selesai ya selesai aja udah. Kuliah, nilai bagus, kerja sesuai passion, gaji sesuai ekspektasi, karya selalu diapresiasi kantor, lalu mau apa lagi hidup ini? Kawinlah sudah".  Lah saya bingung :))))

Saya tetap nggak mengerti, apa maksudnya. Lalu kalau sudah kerja sesuai passion, apakah dia tidak ada mimpi lainnya yang harus dikejar? Apakah dia nggak mau punya pencapaian atas apa yang dia lakukan selama ini, contohnya saya yang masih merasa ingin mengabdi untuk tuhan, bangsa dan almamater negeri ini dengan mengajar, mengajar dan mengajar. Bertemu dengan berbagai macam anak-anak di pelosok negeri, menjadi relawan sana-sini sebagai bentuk pengabdian diri. Saya masih ingin diapresiasi dan mendapatkan pekerjaan yang sekiranya cocok dengan saya. Masih ingin ikut kelas Barista supaya bisa serve kopi yang enak untuk diri sendiri dan sekitar saya.

Saya juga masih ingin menginjakkan kaki kesana-kemari; naik-turun gunung yang tak peduli bersama teman atau sendiri, sekadar untuk apresiasi diri. Saya senang berada di puncak gunung bukan untuk ketenaran di media sosial, melainkan untuk kontemplasi sudah sejauh mana kaki ini melangkah.

Setiap langkah yang saya pijak beberapa waktu belakangan ini menjadi penuh dengan kalimat selesai dengan diri sendiri. Apa yang diselesaikan? Apakah analoginya sama dengan seorang anak yang tuntas mengerjakan PR dari gurunya lalu ia mengerjakan PR lainnya? Kalau begitu, tidak ada selesai yang benar-benar selesai dong?

Lalu saya jadi bertanya dengan diri saya sendiri, kapan saya selesai untuk mengeluh? Kapan saya selesai untuk mengomentari seisi dunia, dimana orang-orang sudah selesai dengan PR-nya dan bersiap menerima PR baru?

Saya sempat dilanda krisis yang tak perlu saya ceritakan disini, intinya gugurlah sudah semangat menggebu saya untuk menjaring bisnis kembali. Bukan rasa tidak percaya diri yang datang, melainkan rasa entahlah-apa-namanya, membuat saya jadi malas memulai bisnis dalam bentuk apapun hingga detik ini. Tapi biar bagaimanapun, saya tetap membutuhkan pekerjaan sampingan diluar pekerjaan kantoran saya. Saya butuh pasangan untuk berkarya, tak mau lagi sendirian. Saya senang melihat saya yang aktif dan selalu tahu apa yang saya mau, tidak seperti saat ini dimana saya hanya mengeluh kenapa saya tidak lagi produktif berkarya. Saya senang menghadapi saya yang bisa bergadang untuk pekerjaan sampingan dan paginya harus bersikap seolah tidur cukup dan bertemu atasan di kantor.

Hingga saat ini, saya selalu bingung jika ditanya "lo mau ngapain?", ya ngapain ya? Tidak tahu. Saya hanya menunggu waktu memberi PR kepada saya. Padahal harusnya, saya yang mengejar 'tugas' tersebut. Saya yang harusnya bangun. Saya yang harusnya berkarya dan merintis lagi apa yang telah hilang: kepercayaan diri saya untuk berkarya.

Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan membuat saya stress sendiri. Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena saya memang tidak tahu saya mau ngapain! Saya hilang kendali, bukan karena orang lain yang hilang, tapi saya yang melenyapkan kendali saya, hingga saya tidak tahu bagaimana caranya mengemudi atas diri saya sendiri. Dan saya memilih untuk memendam itu semua sendiri, saya tidak mau kebimbangan saya malah akan menyulitkan siapapun yang berada di sekeliling saya. Kasihan mereka, memikirkan diri mereka sendiri saja sudah pusing, bagaimana jika harus memikirkan saya yang jelas-jelas tidak penting juga untuk dipikirkan hahahah.


Selesai juga berarti sudah settled dengan segala hal personal, termasuk manajemen stress dan pengendalian diri. Hidup akan kebanyakan warna dan naik-turun jika kita terkadang masih berlaku tidak dewasa (baper), moody, dan I-Need-My-Me-Time.
 Apa yang saya cari? Apa yang saya mau? Apa yang saya inginkan? Bagaimana saya harus menyelesaikan diri saya jika saya belum merasa berguna untuk siapapun hingga saat ini? Bagaimana jika ternyata saya terlalu mencintai diri saya sendiri dalam hal bermalasan tanpa ada harapan untuk maju? Bagaimana jika sekeliling saya tak ada yang bisa membantu saya menemukan jawaban selesai atas kekacauan yang sudah terjadi?

Atau sebenarnya saya sudah merasakan tapi saya tidak pernah bersyukur? Atas apresiasi yang sudah saya dapatkan, atas pekerjaan yang santai-sesuai passion dan cukup, nilai yang baik untuk orangtua, sudah cukup Tuhan memberi waktu saya untuk berbagi dengan sesama dan waktunya saya berbagi dengan diri saya sendiri? Saya ingin berbagi, berbagi lebih banyak, membagi separuh dunia saya tapi entah untuk siapa, kapan, dan seperti apa pembagiannya. Saya ingin bermanfaat untuk orang lain, tapi saya masih tidak merasa cukup baik dalam hidup. Saya bingung, dan saya lelah untuk marah-marah tidak jelas pada semua orang karena saya tak kunjung menemukan makna selesai itu.

Saya masih merasa, saya belum bisa bermanfaat untuk sekitar saya. Masih merasa belum ada prestasi ynag dapat dibanggakan. Bukan takabur atau kufur nikmat, tapi begitulah adanya. Saya masih merasa, saya belum apa-apa.

Pada akhirnya, saya selalu bertanya dengan diri saya sendiri,
Kapan saya selesai, dengan segala tanya apa itu selesai dengan diri sendiri?

Andaikata
















Kita ragu, maka kita berjanji
Berbagi cerita bunyi pasti
Menghias diksi yang hati-hati

Tentang kisah bekal pagi sebelum pergi bekerja
Kecupan dan doa-doa sebelum fajar
pada suatu ketika
yang masih disangsi
Untuk segala hari, memutuskan berhenti menulis dalam sepi
dan berbagi pada telinga yang tak kenal lelah mendengar cerita

Untuk suatu pagi yang tak lagi berandai
Untuk segala petang yang bercerita tentang hari ini
Untuk segala hati, yang tak lagi kenal nanti


14/05/18
-G-

Mendamba Rumah

1-
pada jendela kaca ular besi yang terbuka setengah

mencari nafas pada lima sore yang ramah
ular besi berhenti tiap titik, namun tak ada saling menoleh
mata bersilang; tak ada lagi senyum gairah
tenggelam pada runut angka di pergelangan, berdetak tanpa lelah
demi satu-dua jam bersua: rumah

2-
pada koridor-koridor tak bertuan
menanti kotak besi datang mengantar harapan
kepala tertunduk, memantau langkah kaki yang serima
menuju pemberhentian selanjutnya ke ujung sana
jangan salahkan kantuk atau bosan
karena mereka tetap bungkam hingga perbatasan
barisan lampu dari belakang mobil yang merona
beradu dengan senja yang mulai tiada
hanya satu yang diinginkan: rumah
tempat mereka membagi lelah

3-
aku, kamu, kau, mereka, semua
hanya ingin pulang
pada rumah
tempat berkeluh kesah
merebahkan diri
dan nina-bobo oleh detik yang terus bergerak
membawa pagi kembali datang
mengulang yang sama
hingga pagi tak lagi ada untuk kita semua

kita nantinya akan pulang
pada rumah yang tak lagi dunia


Foto oleh: MIG



11/05/18
-G-

Fragmen

Mari berbagi cerita padaku, tentang warna fajar dari ujung barat muka rumahmu, tentang kabar halaman belakang yang pasirnya berbisik rindu, dan cerita tentang gunung dan laut yang sedari dulu lekat hangat memelukmu.

Atau aku coba nyanyikan padamu, segala aksara yang ku rapal pada malam-malam penuh luka, tentang merpati yang terpatah sayapnya, tentang gulita dan bintang berpendar, atau serupa detik ini, dimana aku merangkul kesal dan rindu yang menyatu dalam tangis.

Musim lalu kita menari di hamparan savana. Dandelion berterbangan mengucap selamat karena langkah kaki berhasil membawa kita pada zona yang entah tak pernah kita ketahui rimbanya, namun berharap suatu yang padu.

Kau tahu, apa yang kusematkan pada sang fajar di muka rumahmu, pasir pantai, malam gulita dan yang kubisikkan pada segala tempat pertemuan dan perpisahan kita? Pada bandara, stasiun, terminal, bahkan pada ribuan pijakan kaki kita pada titik yang tak pernah berpindah?

Aku merindukanmu, sejak elegi memunculkan kepingan fragmen masa depan untuk disusun sembari menunggu konstanta yang tercipta dari segala pertemuan dan rasa yang ada. 

Satu, lima, sepuluh hingga seratus tahun lagi, akan tetap ku alunkan rasa yang sama, pada sebuah makna dalam perjalanan.

Untukmu, pendengar setiaku.. 
Lekas ceritakan padaku, tentang senja yang kau tangkap lewat kameramu, atau kotak-kotak besi berwarna yang bertugas mulia menjemput mereka, karena aku tak mampu mengingat selain rasa tenang dan senyum bahagia di wajahmu saat kutemani dirimu mengejar segala mimpimu.

09/05/18
-G-

Menjadi Laut



Aku ingin menjadi laut

Yang berbatas awan saat fajar dan senja datang

Yang berdebur saat sepersekian detik airnya bertemu karang

Saat kau datang, akan ku suguhkan pelukan pasir putih dan kelapa muda yang menyegarkan

___

Aku ingin menjadi laut

Tempatmu menjala semua ikan yang kau jadikan harapan

Tempat kau berani menantang hari tanpa takut kehausan

Tempatmu melempar mimpi dan berharap kau temukan lagi suratnya di ujung waktu

___

Aku ingin menjadi laut

Yang kepadaku, kau akan rela menyelam

Hingga jauh

Hingga habis napasmu

___


02/05/18
-G-

___


I mean how, how the world bring us here;

Are we just trapped in time, or you can stay here longer than i expected, or we just don't count the time, as long as we through this 'phase' together?


An unexpected journey with unexpected people from unexpected world.



It was with him, unintentionally. Where i'd learn to trust myself before i trust other. He gives me his arms around me and i take a deep breath. Patiently handle my anxiety. 

Suddenly i feel grounded to this moment with him. I dream about how much streets where we go through everyday, chicken skin that i share with, restaurants where we order expensive dishes and we’ll share the same fork, savana or just sit in a sofa and share my unimportant story about life or you tell me things-i-don't know about your favorite track when running. Unburdened future.


I don't have to be afraid, but sometimes i still think about losing.

___


Count me in your journey, even i don't know either you're blessing or maybe just a lesson-i learned tomorrow.


But for now, 
I'm no longer searching.


Save me.


Save


Me.

___


Here, i present you, my man with his lovable thing.


Captured by me: messy people whose met you after the rain stopped in last thursday.


___



Kekangan Jiwa

Tuk.. tuk.. tuk..
Tuk.. tuk..
Tuk..
..
.

___


Dalam kekangan jiwa aku berteriak
Kencang hingga tanpa suara
Lenyap sudah kekuatanku
Tak mampu angkat kepala;
Bersujud pilu, tak ingin terlihat


Dalam kekangan jiwa aku bungkam
Kosong tapi tak mati
Berkali bising datang, berkali pula hilang
Ingin segera berdiri
Ingin kaki berderap lari
Seperti Paskibra, langkah tegak maju jalan


Dalam kekangan jiwa aku mencari
Memaksa diri membuka mata
Tak ada yang sudi menetap
Hanya berdiam lama dan pergi mencuri semua


Siapa yang sudi dengan perempuan yang terlalu cinta pada dirinya sendiri, hingga tak mau menuruti kata mereka?


Siapa yang sudi dengan perempuan yang selalu ingin semestanya bahagia, hingga tak pernah sadar bahwa ia tak pernah sungguh bahagia?


Dalam kekangan jiwa aku merangkak
Mengambil serpihan rasa yang sekiranya bisa aku berikan putih telur lalu aku rekatkan kembali pada hati yang tak mampu lagi merasa hati siapapun yang hadir
Memaksa diri menginjak beling padahal bukan pemain debus
Menggantung harap yang siap sedia diulur bagai layang


Dalam kekangan jiwa, aku mencari tenang
Entah dimana

Sedang merasa seperti Nobita yang banyak ingin tapi tak mau bergerak.

Ingin ini,
Ingin itu,
banyak sekali..

Sayang seribu sayang, saya tidak punya Doraemon yang cukup korak-korek kantong dan menemukan alat untuk menolong Nobita.

Saya sedang merasa seperti Nobita yang tak punya Doraemon. Apa jadinya, ya?

Kemana semangat saya yang dulu?

Tampar saya, siapapun.

Saya butuh maju.

Aku hanya ingin didengar,
Selayaknya aku ingin selalu mendengarkan

Tak peduli bohong atau fakta, tapi memberi telingaku untuk kau ceritakan segala isi duniamu hari ini sudah cukup membuatku berguna.

Bukankah itu yang disebut komplementer?

Kekhawatiran

Kamu pernah jatuh cinta namun penuh kekhawatiran?

Seperti ingin berenang tapi takut tak timbul lagi ke permukaan, padahal kamu bisa berenang

Aku takut terlalu dalam, seperti yang lalu, meminta tenggelam

Aku tersesat; dalam jiwa yang selalu mengajak tertawa
Aku tersesat; dalam raga yang berusaha hadirkan tenang

Aku hanyut. Terbawa arus yang cukup deras namun sesekali tenang walau belum mencapai hilir.

Tapi lagi-lagi tuan, aku takut.

Aku bisa merasa bahagia tapi aku takut semua hanya fana, hingga akhirnya terbakar, bersisa jelaga.

Aku khawatir, semua di masa depan adalah masa lalu yang berulang.

Aku terjebak,
Dalam kekhawatiran

Namun aku memang sudah terjebak

Atau aku sebenarnya hanya takut kehilangan yang berulang?

Yang Ku Lakukan Delapan Menit Sebelum Mendarat

Aku tidak lagi percaya kepada manusia
Siapapun itu

Mulut mereka hanya berisi dusta
Tak lagi yakin untuk satu

Bahkan saat kamu datang, aku tak yakin bahwa kamu akan sama seperti mereka
Atau kamu memang tidak sama dengan mereka
Aku tidak tahu

Jadi, maukah kau tunjukkan segala
Segala apa yang aku tak lagi percaya dari manusia
Segala apa yang tak lagi aku yakini dari mereka
Dan segala yang buktikan kau bukan bagian dari mereka

Sebelum aku ceritakan semua mimpiku tentang kita, yang selalu ku tulis setiap hujan reda, saat pertemuan kita kamis petang lalu

Selamat datang, Petrikor yang selalu datang saat pelangi mulai terlihat semburatnya
Sepertinya kau akan jadi bagian dari drama aksara
Dan semoga, kau bukan bagian dari drama yang ada
Jika kau bisa tunjukkan bahwa semua memang nyata adanya

Dan tak berharap mati dalam tulisan,
Seperti yang pernah ada

Delapan menit sebelum mendarat,
Bahkan pesawatku sudah melesat
Ingin kembali menggapai lengan dan memeluk erat

Jangan pergi, sebelum terlihat
Jika semua memang sudah tersurat

05/04/18
-G-

Belahan Bumi yang Mana?

Di belahan bumi mana lagi
Kita harus berpapasan

Di bagian pulau mana lagi
Kaki kita bertemu dalam pijakan

Di bagian hari mana lagi
Hembus angin memanggilmu, sedu-sedan

Tapi kita tak kunjung jumpa

Dan di bagian detik mana lagi
Aku masih tak bisa menyatakan

Bahwa aku menemukan
Kamu
Yang ingin maju ke depan
Dan rela maju lebih dulu untuk sekadar mundur memberi minum
Menarik tangan dan berlari kedepan
Saat raga ini masih ragu bahkan untuk berjalan

Semesta, aku sedang lelah melaju
Bolehkah ia kupasrahkan padamu?
Kali ini aku tak lagi melawanmu
Silahkan, jalankan rencanamu

Karena takkan ku biarkan lagi siapapun akan hadir hanya untuk buat semua porak poranda



05/04/18
Pada 23.000 kaki
-G-

Betapa saya tidak suka olahraga lari

Saya tidak pernah suka olahraga lari setelah ayah dan kakek saya meninggal dunia.

Pun juga, seseorang meninggalkan saya karena lari. Lebih nyaman berlari berdua dengan yang baru dibanding saya yang hanya suka jogging, ujarnya.

Yang setia akan selalu kalah dengan yang selalu ada memang benar adanya.

Tapi semesta berkata lain,

Sepertinya kali ini saya harus memulai lagi berlari. Sudah terlalu lama aku hanya jalan di tempat, bahkan sekadar mengamati orang-orang yang berlari.

Mereka -- dan kamu, sudah berlari ribuan kilometer

dan saya masih terdiam saja disini,

Saya harus maju,
Harus.

Arena Pertandingan

Aku dan kamu bagaikan dua petarung yang bertemu dalam suatu pertandingan. Tanpa ragu, aku akan melawanmu dengan segala kemampuan dan jurus yang aku punya. Takkan ada celah untukmu melawan. Aku tidak ingin dan tidak akan mengalah karena alasan cinta. Bukan aku tak mau kamu menang, hanya saja aku ingin kamu benar-benar berjuang sebagai pemenang.

Aku ingin mencintaimu dengan tangguh, lewat dua tangan saling menggenggam berpeluh, dengan sekuat tenaga untuk sama-sama bertumbuh. Walau waktu memaki mundur, cinta ini masih bergeming untuk maju.

Kau ingin melawanku? Silahkan.

"Tidak mau menyerah saja?"

Tidak. Belum. Tidak sekarang.

Aku percaya jika manusia didesain keras kepala, meyakini apa yang diyakini sendiri, mempunyai harapan yang terlihat bodoh dan terus mencoba meski terlihat sia-sia. Diberkahi logika meski sering mendadak tak berguna oleh sebab perasaan absurd yang lebih diunggulkan; aku sebut cinta.

Terkait jera, aku pun percaya jika ada batas untuknya, hanya aku sendiri yang akan tahu batasnya. Mungkin, di saat logika mendadak berfungsi lebih baik, tersadar bahwa kamu takkan lagi bahagia di sini, atau karena aku jenuh menunggu kamu menoleh sedikit kepadaku.

Yang jelas aku belum jera, aku belum jenuh. Entah belum, atau tidak mau. Aku masih ingin mencoba, aku masih ingin kita bertarung. Dalam Tuhan dan ujar semesta, aku meyakinkan dirimu.

Hingga pada akhirnya, mungkin aku yang tak mendapat sesuatu yang aku ingini, hanya terlalu jumawa menganggap kamu akan kembali,

ku yakin suatu hari nanti aku akan bertarung sendiri,

melawan ego yang masih memantik nyala untukmu.

Dalam genggaman-Nya, aku kalah dan mati,
Menelan rasa yang ku kunyah hingga nanti.

Bermain Peran

    maukah kamu, berpura-pura
    untuk mencintaiku
    seperti kata-kataku
    yang membubuhkan drama aksara

    hanya mereka
    yang selalu bisa
    menggabung kata, frasa, hingga nada
    tentang dirimu, yang mulai tiada

    maukah kamu, berpura-pura
    hingga kau habiskan waktu bersama
    agar terbiasa
   
    jika memang tak bisa
    izinkan aku yang pura-pura
    seolah aku berhasil melupa
    bayangmu dari renjana
    dan kau selalu tahu jawabnya

26/01/18
-G-

Aku rindu,
Kamu tahu?

Atau sebaiknya tidak tahu
Biar aku siksa sendiri mengharapmu
Atau sebaiknya tidak rindu?

Karena kau takkan menoleh padaku

26/01/18
-G-

Aku (Masih) Ingin


            Saat ini aku berjalan dalam kerinduan. Kerinduan akan semua tawa bahagia kala kejutan-kejutan kecil seperti memberikan kue-kue untuk bekal kuliahku, atau membuatkan susu hangat menyambut pagi harimu. Atau hanya kecup mesra keningku sembari berkata bahwa kau mencintaiku. Kerinduan akan gelas-gelas kopi kita dalam gelap malam menanti fajar – kencan terindah yang selalu buat senyumku merekah kala kupejamkan mata dan membayangkanya kembali.


            Setapak demi setapak langkahku semakin cepat, berlari menuju saat dimana ku temukan sorot matamu teduh merengkuhku dalam hangat pelukmu. Sorot mata yang selalu yakin akan selalu menemaniku hingga ku terbatuk menua dan mati dalam pelukmu. Berlebih, namun aku yakin kaulah sorot mata yang ku ingin temui saat pagi menjelang dan mata yang ingin ku kecup kala mentari terlelap dalam singgasananya. Kaulah, sorot mata yang selalu menghangatkan dinginku, menenangkan tangisku, serta meyakinkanku maju.

            Kali ini ku paksakan masuk ke dalam ingatanku yang makin dalam. Merasakan rengkuhan tanganmu yang selalu siap menjagaku kala jalanku mulai tak benar. Jemarimu yang selalu bertaut di jemariku – untuk nyatakan pada dunia bahwa aku milikmu. Jemarimu yang siap mencubit pipiku gemas atau menepuk keningku perlahan kala aku bertingkah bodoh didepanmu. Merasakan jemarimu yang siap menarik kepalaku ‘tuk curi kecup keningku.

            Tubuh tinggi dan letup dadamu yang selalu ku rindukan. Bahu yang selalu siap menjadi tempat ku meneteskan tangis bahagia atau sekadar bercerita duka. Bahu yang selalu menjadi tempat ku bersembunyi kala ku takut dari dunia serta kenyataan yang pahit. Punggung yang membuatku ingin berlari dan berloncat memeluk. Punggung lapang yangtak pernah ku nikmati saat kau berjalan pergi.

            Aku memutar arah; kembali berjalan menuju realitas setelah puas dengan euforia kemarin. Mendapatkan kamu yang sorotmu mendingin. Seakan enggan menatap serta menghangatkan lagi. Teduh yang ku miliki dari sorotmu mulai hilang menjadi beku. Senyumku tak lagi cairkan, bahkan rengkuhku tak lagi terangkan sepasang mata indahmu.

            Tak bual, aku pun kecewa pada sikapmu yang mulai membangun dinding tinggi di antara kita. Segala pertemuan tak lagi memiliki kesan di matamu. Benar katamu, setiap pertemuan kita yang jarang selalu saja diisi oleh pertengkaran kecil atau masalah lalu yang tak terselesaikan. Semakin jauh kita berjalan, entah mengapa semakin banyak yang kau sembunyikan. Aku mempercayai segala tentang dirimu, yang ternyata kau punya sisi lain yang kau sembunyikan. Seakan semua orang menghujamku dengan masa lalumu, kau meyakinkanku bahwa tak ada apa-apa lagi dengan yang lalu. Namun mengapa, keyakinanmu kau dustai dengan pertemuan yang kau sembunyikan?

            Aku tak ingin, sayang. Aku masih ingin berjuang. Aku masih ingin membagi segala cerita bodoh dan konyolku di hari ini, masih ingin menikmati punggungmu yang membuatku selalu ingin berlari memeluk. Masih ingin menatap dengan lekat sorot mata teduh yang selalu menenangkan – meyakinkan bahwa aku akan aman bersamamu. Aku masih ingin mengabadikan dirimu dalam segala gambar ke penjuru alam. Aku masih ingin merasakan sentuhan jemarimu menyentuh keningku, dengan senyum jenakamu menggodaku. Aku masih ingin menikmati gelas-gelas kopi sembari menikmati rembulan turun tahta berganti fajar yang siap menyembul dari langit gelap Bandung atau belahan bumi manapun, aku masih ingin bersamamu. Aku masih ingin melihatmu menikmati permainanmu atau berkutat dengan pekerjaanmu hingga kau tertidur lelap dan bermimpi tentang kita.

Aku ingin, ingin sekali,
Melihat sorot mata teduhmu saat ku bangun dari tidur, serta mengecup mata mu kala larut malam datang.

Pegang jemariku lagi
Aku masih ingin, sayang.


Aku ingin.
Bersamamu.

Semoga, begitupun denganmu.


23/01/18
-G-

Sekali Lagi

Kata mereka, obat rindu itu jumpa.

Tapi aku ingin bertanya,


Apakah setelah jumpa aku masih bisa katakan rindu?


Mungkin aku masih terus merasa rindu

Karena aku selalu merindukan hatimu yang sedang berkelana
Untuk kembali pulang

___


Ah, hari ini aku tidak lakukan apa-apa

Bolehkah aku hanya merindumu saja?
Semoga kamu juga,
Merinduku
Walau tak sebanyak aku

__



07/01/18
-G-


Kisah Hidup

Sejak saya duduk di bangku TK, Kakek sering mengajak saya lari pagi di Pacuan Kuda Pulomas. Sepulang dari lari pagi, sebelum sampai rumah, Kakek mengajak ke warung kopi, membelikan bubur kacang hijau, susu kedelai, serta berbincang tentang salah satu bapak proklamator kita, Bung Karno. .

"Kamu mesti tahu ceritanya beliau lahir. Koesno, Karno, Soekarno. Pinter, sekolah sana-sini. Kamu gitu juga ya" ujar Kakek.

Buku-buku Kakek tentang Soekarno cukup banyak. Buku pertama yang ku baca adalah Soekarno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Ya betul, masih ejaan lama. Tebak, umur berapa saya membaca buku tersebut? 10 tahun. Iya, 10 tahun. Bacaannya sudah berat, ya? 😂 Saya menyelesaikannya dalam kurun waktu 1 bulan. .

"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?"


"Ibunya dari Bali - Brahmana, bapaknya Guru. Bapaknya ngajarin Tat Twam Asi, supaya bisa berempati. Pemahaman Islam dapetnya paling banyak dari HOS Cokroaminoto yang seorang kyai. Terus juga ada cerita Sarinah, yang suka bantu-bantu di rumah, saking sayang dan hormatnya, sama Bung Karno dijadiin nama jalan. Terus sisanya ya perang-perangan gitu tapi sambil debat. Keren." .

Buku selanjutnya yang saya baca adalah buku ini, Sukarno My Friend. Dengan penulis yang sama, Cindy Adams. Bukan biografi, kalau ini lebih banyak perjalanan Adams tentang susahnya menulis dan momen-momen apa yang tertangkap saat ia menulis tentang Soekarno.

Selanjutnya apa lagi? Banyak!

Saat SMP-SMA, saya dipinjamkan buku yang saya lupa judulnya, tentang istri-istri Bung Karno. Saya kesulitan menghafal kesembilannya: Siti Oetari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar. .

"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?".


"Gimana rasanya jadi istri-istri kesekian ya? Mau karena pamor, atau memang beneran sayang? Cuma 2 istri yg bener-bener dicinta" .


"Hahaha kamu ini, ambil positifnya buang sing elek nya, wes, jangan sampai begitu ya nanti"

___



06/01/18
-G-

1997

Katanya, waktu itu krisis ekonomi Asia. Dimulai dari Thailand yang Baht-nya merosot tajam, berimbas ke negara sekitarnya, termasuk negara kami. Aku tidak tahu.

Katanya, IMF pinjamkan uang supaya kami nggak kalah dengan Dolar dan saham bisa naik. Devaluasi, perusahaan mulai banyak yang pailit. Aku tidak tahu.

Katanya juga, waktu itu ada presiden negara kami yang bertangan dingin membangun negeri. Aku tidak tahu.

Aku hanya tahu, menonton Let's Go jam 07:00 pagi, Chibi Maruko-Chan jam 07:30, Doraemon jam 08:00, Crayon Shinchan jam 08:30 sambil tandem menonton Detective Conan.

___

Katanya, mulai masuk era krisis moneter
Katanya, yang nomor satu mau diganyang lengser
Aku hanya tahu, Shinchan sukanya bésér



04/01/18
-G-

Tiga

Apakah salah mereka inginkan saya
Walau saya tak pernah jadi yang utama?

Apakah salah saya menuntut kasih
Walau saya tak butuh dikasihani?

Apakah salah saya menjadi bayang
Walau tak diakui kesetiaannya?

Seharusnya saya mencari yang lain, bukan milik anda
Saya tahu

Saya tak pernah mau
Saya tak pernah ingin

Saya hanya anjing yang lewat depan rumah, dipanggil pemilik rumah, diberi makan, dielus, dimanja, lalu diusir pergi. Esoknya dipanggil lagi. Jadilah sebuah kebiasaan.
Dan anda juga tahu, melatih anjing memang sulit.

Tapi, anjing itu setia.

Jadi, wajar kan jika saya tak mau pergi?

Tapi apakah salah saya mencintai ia yang sejak lama hadir sebagai kawan
Dan terlambat menyadari 
Bahwa saya menginginkannya

Saat janur kuning tiga tahun lalu sudah melengkung di depan rumahnya?

___

Mereka selalu berkata,
"Kamu tak tahu rasanya diselingkuhi!" .
.
Seketika saya ingin bertanya kembali, .
"Memang kamu tahu rasanya tak diakui?"



03/01/18,
-G-

Ruang Tunggu

Silakan masuk
Ambil nomor antrianmu
Duduk disini
Sebentar lagi akan tiba

___

Ada yang menghabiskan waktunya sambil menunggu dengan bermain gawai, berdiskusi dengan orang yang juga mengantri, menonton televisi, atau sekadar diam membaca buku.

Ada juga beberapa orang yang khusyuk memanjat doa dengan menengadah kedua tangan, memencet-mencet buku jari, komat-kamit lewat iringan Doa Bapa Kami. Pun ada yang ibadah dengan mata terpejam, kaki diselipkan ke kaki lainnya, kepala tertunduk dan mendengkur. Ya, itu juga bagian dari ibadah.

Ada pula yang tak bisa diam sepertiku. Mondar-mandir menelisik seisi ruang, memantau raut wajah tiap-tiap orang yang mengantri, membaca tulisan berjalan di televisi, atau bahkan iseng membaca tulisan yang jaraknya sekian meter dariku hanya untuk menguji apakah rabun jauhku bertambah dari hari ke hari.

Lewat jam sepuluh, banyak raga beranjak pergi. Ada yang menggerutu dengan penjaga loket, penjaga parkir, bahkan menggerutu lewat media sosial yang terhubung dalam gawainya. Mereka katakan, menunggu itu tidak enak. Mereka yang seharusnya bisa mengerjakan pekerjaan lain, dipaksa habis waktunya untuk menunggu tapi tak kunjung temu. Yang pergi karena tidak nyaman juga ada. Katanya, terlalu panas. Kursi yang disediakan untuk duduk tidak nyaman. Tidak ada fasilitas yang ditunjang untuk menunggu.

Apakah menunggu merupakan sebuah hal yang membuat tidak nyaman?

Jelas! Ketidakpastian akan waktu. Yang dijanjikan tak kunjung datang. Yang diharapkan hanya menguap seperti seorang ngantuk yang membunuh waktu lewat tidur.

___

Ah, nomorku sudah terpanggil. Jadi lebih cepat karena banyak yang memutuskan pulang. Tidak selamanya, menunggu itu hal yang buruk.

Hanya karena semua itu mungkin datangnya tidak secepat dan semudah yang ku bayangkan, aku selalu percaya, sesuatu yang tepat dan baik itu memang pantas untuk ditunggu.

Semoga.

___

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Hari Bercerita di Instagram, dimana saya cukupkan menulis disana di hari ke-15. Rumah saya bukan di sana, ternyata. Saya lebih suka satu arah disini. :)

02/01/18
-G-

Izin Merayakan Kehilangan

Sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai berakhirnya kehidupan ini, saya akan tetap menjadi seorang yang tak peduli apa kata orang lain. A friend of mine said that i'm the best pretender that she ever seen. Saya akan tetap menjadi saya yang enggan mati sebelum segala impian saya terwujud, bertahah hidup hanya dengan cinta yang singgah tapi saya tak tahu apakah kau sungguh.

Benar, saya lah si lemah yang berlagak egois ingin memiliki semua. Saya yang tak pernah mengerti kesedihanmu. Kamu yang selalu katakan bahwa elegi ini hanya sekejap; sesaat lagi kamu akan pulang. Pulang kemana? Kepada saya, iya kan? Bukan seharusnya seperti itu?

Saya masih menjadi saya yang kau kenal, tak berubah sejengkalpun walau seringkali saya ketakutan akan emosi saya yang seketika memuncak marah lalu menangis sejadi-jadinya. Saya masih jadi si egois yang selalu ingin segala tempat pertama yang kita datangi harus bersama. Saya masih jadi si egois yang selalu tak paham alur pikiranmu yang ingin obrolan tenang namun saya selalu menuntut bicara rasa. Ya, saya masih jadi si egois yang menuntut kamu memilih, saya tak bisa berjalan dengan kepala yang ingin meledak karena cemburu tapi hati ini masih ingin bersamamu, dan tak ingin mundur sedikitpun.

Saya tak meminta kamu untuk merasakannya, sungguh. Kamu takkan kuat.

Sayang, kau laki-laki yang tetap akan membara meski hatimu mulai padam untuk saya. Saya pernah membaca sebuah prosa darinya, bahwa dia tidak akan meninggalkanmu karena kamu dunia baginya. Tapi pernahkah kau tahu, bahwa kau adalah oksigen untuk saya. Tanpamu, saya mati.

Saya takkan pergi; saya katakan, saya takkan pergi. Meski saya tahu, dengan keegoisan saya, malah kamu yang takut. Kamu yang lari. Kamu yang memilih sepi padahal hatimu hanya kalut untuk memilih. Tapi lihat lah aku, dengan pilihan sampai mati yang ku pilih. Dengan pertahanan saya untuk selalu menjadi rumah untukmu sambil menyapu halamannya, mengusir siapapun yang akan datang. Selesaikan, dan pulanglah kesini, sayang. Kita rayakan kemenangan walau saya tahu itu menyakitkan untukmu. Maka izinkanlah, aku merayakan kehilanganmu dengan cinta kita yang akan semakin kuat. Dengan kapal yang lebih kuat mengarung di samudera lepas; abadi.


03/01/18
-G-

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top