January 2018

Arena Pertandingan

Aku dan kamu bagaikan dua petarung yang bertemu dalam suatu pertandingan. Tanpa ragu, aku akan melawanmu dengan segala kemampuan dan jurus yang aku punya. Takkan ada celah untukmu melawan. Aku tidak ingin dan tidak akan mengalah karena alasan cinta. Bukan aku tak mau kamu menang, hanya saja aku ingin kamu benar-benar berjuang sebagai pemenang.

Aku ingin mencintaimu dengan tangguh, lewat dua tangan saling menggenggam berpeluh, dengan sekuat tenaga untuk sama-sama bertumbuh. Walau waktu memaki mundur, cinta ini masih bergeming untuk maju.

Kau ingin melawanku? Silahkan.

"Tidak mau menyerah saja?"

Tidak. Belum. Tidak sekarang.

Aku percaya jika manusia didesain keras kepala, meyakini apa yang diyakini sendiri, mempunyai harapan yang terlihat bodoh dan terus mencoba meski terlihat sia-sia. Diberkahi logika meski sering mendadak tak berguna oleh sebab perasaan absurd yang lebih diunggulkan; aku sebut cinta.

Terkait jera, aku pun percaya jika ada batas untuknya, hanya aku sendiri yang akan tahu batasnya. Mungkin, di saat logika mendadak berfungsi lebih baik, tersadar bahwa kamu takkan lagi bahagia di sini, atau karena aku jenuh menunggu kamu menoleh sedikit kepadaku.

Yang jelas aku belum jera, aku belum jenuh. Entah belum, atau tidak mau. Aku masih ingin mencoba, aku masih ingin kita bertarung. Dalam Tuhan dan ujar semesta, aku meyakinkan dirimu.

Hingga pada akhirnya, mungkin aku yang tak mendapat sesuatu yang aku ingini, hanya terlalu jumawa menganggap kamu akan kembali,

ku yakin suatu hari nanti aku akan bertarung sendiri,

melawan ego yang masih memantik nyala untukmu.

Dalam genggaman-Nya, aku kalah dan mati,
Menelan rasa yang ku kunyah hingga nanti.

Bermain Peran

    maukah kamu, berpura-pura
    untuk mencintaiku
    seperti kata-kataku
    yang membubuhkan drama aksara

    hanya mereka
    yang selalu bisa
    menggabung kata, frasa, hingga nada
    tentang dirimu, yang mulai tiada

    maukah kamu, berpura-pura
    hingga kau habiskan waktu bersama
    agar terbiasa
   
    jika memang tak bisa
    izinkan aku yang pura-pura
    seolah aku berhasil melupa
    bayangmu dari renjana
    dan kau selalu tahu jawabnya

26/01/18
-G-

Aku rindu,
Kamu tahu?

Atau sebaiknya tidak tahu
Biar aku siksa sendiri mengharapmu
Atau sebaiknya tidak rindu?

Karena kau takkan menoleh padaku

26/01/18
-G-

Aku (Masih) Ingin


            Saat ini aku berjalan dalam kerinduan. Kerinduan akan semua tawa bahagia kala kejutan-kejutan kecil seperti memberikan kue-kue untuk bekal kuliahku, atau membuatkan susu hangat menyambut pagi harimu. Atau hanya kecup mesra keningku sembari berkata bahwa kau mencintaiku. Kerinduan akan gelas-gelas kopi kita dalam gelap malam menanti fajar – kencan terindah yang selalu buat senyumku merekah kala kupejamkan mata dan membayangkanya kembali.


            Setapak demi setapak langkahku semakin cepat, berlari menuju saat dimana ku temukan sorot matamu teduh merengkuhku dalam hangat pelukmu. Sorot mata yang selalu yakin akan selalu menemaniku hingga ku terbatuk menua dan mati dalam pelukmu. Berlebih, namun aku yakin kaulah sorot mata yang ku ingin temui saat pagi menjelang dan mata yang ingin ku kecup kala mentari terlelap dalam singgasananya. Kaulah, sorot mata yang selalu menghangatkan dinginku, menenangkan tangisku, serta meyakinkanku maju.

            Kali ini ku paksakan masuk ke dalam ingatanku yang makin dalam. Merasakan rengkuhan tanganmu yang selalu siap menjagaku kala jalanku mulai tak benar. Jemarimu yang selalu bertaut di jemariku – untuk nyatakan pada dunia bahwa aku milikmu. Jemarimu yang siap mencubit pipiku gemas atau menepuk keningku perlahan kala aku bertingkah bodoh didepanmu. Merasakan jemarimu yang siap menarik kepalaku ‘tuk curi kecup keningku.

            Tubuh tinggi dan letup dadamu yang selalu ku rindukan. Bahu yang selalu siap menjadi tempat ku meneteskan tangis bahagia atau sekadar bercerita duka. Bahu yang selalu menjadi tempat ku bersembunyi kala ku takut dari dunia serta kenyataan yang pahit. Punggung yang membuatku ingin berlari dan berloncat memeluk. Punggung lapang yangtak pernah ku nikmati saat kau berjalan pergi.

            Aku memutar arah; kembali berjalan menuju realitas setelah puas dengan euforia kemarin. Mendapatkan kamu yang sorotmu mendingin. Seakan enggan menatap serta menghangatkan lagi. Teduh yang ku miliki dari sorotmu mulai hilang menjadi beku. Senyumku tak lagi cairkan, bahkan rengkuhku tak lagi terangkan sepasang mata indahmu.

            Tak bual, aku pun kecewa pada sikapmu yang mulai membangun dinding tinggi di antara kita. Segala pertemuan tak lagi memiliki kesan di matamu. Benar katamu, setiap pertemuan kita yang jarang selalu saja diisi oleh pertengkaran kecil atau masalah lalu yang tak terselesaikan. Semakin jauh kita berjalan, entah mengapa semakin banyak yang kau sembunyikan. Aku mempercayai segala tentang dirimu, yang ternyata kau punya sisi lain yang kau sembunyikan. Seakan semua orang menghujamku dengan masa lalumu, kau meyakinkanku bahwa tak ada apa-apa lagi dengan yang lalu. Namun mengapa, keyakinanmu kau dustai dengan pertemuan yang kau sembunyikan?

            Aku tak ingin, sayang. Aku masih ingin berjuang. Aku masih ingin membagi segala cerita bodoh dan konyolku di hari ini, masih ingin menikmati punggungmu yang membuatku selalu ingin berlari memeluk. Masih ingin menatap dengan lekat sorot mata teduh yang selalu menenangkan – meyakinkan bahwa aku akan aman bersamamu. Aku masih ingin mengabadikan dirimu dalam segala gambar ke penjuru alam. Aku masih ingin merasakan sentuhan jemarimu menyentuh keningku, dengan senyum jenakamu menggodaku. Aku masih ingin menikmati gelas-gelas kopi sembari menikmati rembulan turun tahta berganti fajar yang siap menyembul dari langit gelap Bandung atau belahan bumi manapun, aku masih ingin bersamamu. Aku masih ingin melihatmu menikmati permainanmu atau berkutat dengan pekerjaanmu hingga kau tertidur lelap dan bermimpi tentang kita.

Aku ingin, ingin sekali,
Melihat sorot mata teduhmu saat ku bangun dari tidur, serta mengecup mata mu kala larut malam datang.

Pegang jemariku lagi
Aku masih ingin, sayang.


Aku ingin.
Bersamamu.

Semoga, begitupun denganmu.


23/01/18
-G-

Sekali Lagi

Kata mereka, obat rindu itu jumpa.

Tapi aku ingin bertanya,


Apakah setelah jumpa aku masih bisa katakan rindu?


Mungkin aku masih terus merasa rindu

Karena aku selalu merindukan hatimu yang sedang berkelana
Untuk kembali pulang

___


Ah, hari ini aku tidak lakukan apa-apa

Bolehkah aku hanya merindumu saja?
Semoga kamu juga,
Merinduku
Walau tak sebanyak aku

__



07/01/18
-G-


Kisah Hidup

Sejak saya duduk di bangku TK, Kakek sering mengajak saya lari pagi di Pacuan Kuda Pulomas. Sepulang dari lari pagi, sebelum sampai rumah, Kakek mengajak ke warung kopi, membelikan bubur kacang hijau, susu kedelai, serta berbincang tentang salah satu bapak proklamator kita, Bung Karno. .

"Kamu mesti tahu ceritanya beliau lahir. Koesno, Karno, Soekarno. Pinter, sekolah sana-sini. Kamu gitu juga ya" ujar Kakek.

Buku-buku Kakek tentang Soekarno cukup banyak. Buku pertama yang ku baca adalah Soekarno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Ya betul, masih ejaan lama. Tebak, umur berapa saya membaca buku tersebut? 10 tahun. Iya, 10 tahun. Bacaannya sudah berat, ya? 😂 Saya menyelesaikannya dalam kurun waktu 1 bulan. .

"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?"


"Ibunya dari Bali - Brahmana, bapaknya Guru. Bapaknya ngajarin Tat Twam Asi, supaya bisa berempati. Pemahaman Islam dapetnya paling banyak dari HOS Cokroaminoto yang seorang kyai. Terus juga ada cerita Sarinah, yang suka bantu-bantu di rumah, saking sayang dan hormatnya, sama Bung Karno dijadiin nama jalan. Terus sisanya ya perang-perangan gitu tapi sambil debat. Keren." .

Buku selanjutnya yang saya baca adalah buku ini, Sukarno My Friend. Dengan penulis yang sama, Cindy Adams. Bukan biografi, kalau ini lebih banyak perjalanan Adams tentang susahnya menulis dan momen-momen apa yang tertangkap saat ia menulis tentang Soekarno.

Selanjutnya apa lagi? Banyak!

Saat SMP-SMA, saya dipinjamkan buku yang saya lupa judulnya, tentang istri-istri Bung Karno. Saya kesulitan menghafal kesembilannya: Siti Oetari Tjokroaminoto, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar. .

"Kowe dapet apa hayo, habis baca buku iki?".


"Gimana rasanya jadi istri-istri kesekian ya? Mau karena pamor, atau memang beneran sayang? Cuma 2 istri yg bener-bener dicinta" .


"Hahaha kamu ini, ambil positifnya buang sing elek nya, wes, jangan sampai begitu ya nanti"

___



06/01/18
-G-

1997

Katanya, waktu itu krisis ekonomi Asia. Dimulai dari Thailand yang Baht-nya merosot tajam, berimbas ke negara sekitarnya, termasuk negara kami. Aku tidak tahu.

Katanya, IMF pinjamkan uang supaya kami nggak kalah dengan Dolar dan saham bisa naik. Devaluasi, perusahaan mulai banyak yang pailit. Aku tidak tahu.

Katanya juga, waktu itu ada presiden negara kami yang bertangan dingin membangun negeri. Aku tidak tahu.

Aku hanya tahu, menonton Let's Go jam 07:00 pagi, Chibi Maruko-Chan jam 07:30, Doraemon jam 08:00, Crayon Shinchan jam 08:30 sambil tandem menonton Detective Conan.

___

Katanya, mulai masuk era krisis moneter
Katanya, yang nomor satu mau diganyang lengser
Aku hanya tahu, Shinchan sukanya bésér



04/01/18
-G-

Tiga

Apakah salah mereka inginkan saya
Walau saya tak pernah jadi yang utama?

Apakah salah saya menuntut kasih
Walau saya tak butuh dikasihani?

Apakah salah saya menjadi bayang
Walau tak diakui kesetiaannya?

Seharusnya saya mencari yang lain, bukan milik anda
Saya tahu

Saya tak pernah mau
Saya tak pernah ingin

Saya hanya anjing yang lewat depan rumah, dipanggil pemilik rumah, diberi makan, dielus, dimanja, lalu diusir pergi. Esoknya dipanggil lagi. Jadilah sebuah kebiasaan.
Dan anda juga tahu, melatih anjing memang sulit.

Tapi, anjing itu setia.

Jadi, wajar kan jika saya tak mau pergi?

Tapi apakah salah saya mencintai ia yang sejak lama hadir sebagai kawan
Dan terlambat menyadari 
Bahwa saya menginginkannya

Saat janur kuning tiga tahun lalu sudah melengkung di depan rumahnya?

___

Mereka selalu berkata,
"Kamu tak tahu rasanya diselingkuhi!" .
.
Seketika saya ingin bertanya kembali, .
"Memang kamu tahu rasanya tak diakui?"



03/01/18,
-G-

Ruang Tunggu

Silakan masuk
Ambil nomor antrianmu
Duduk disini
Sebentar lagi akan tiba

___

Ada yang menghabiskan waktunya sambil menunggu dengan bermain gawai, berdiskusi dengan orang yang juga mengantri, menonton televisi, atau sekadar diam membaca buku.

Ada juga beberapa orang yang khusyuk memanjat doa dengan menengadah kedua tangan, memencet-mencet buku jari, komat-kamit lewat iringan Doa Bapa Kami. Pun ada yang ibadah dengan mata terpejam, kaki diselipkan ke kaki lainnya, kepala tertunduk dan mendengkur. Ya, itu juga bagian dari ibadah.

Ada pula yang tak bisa diam sepertiku. Mondar-mandir menelisik seisi ruang, memantau raut wajah tiap-tiap orang yang mengantri, membaca tulisan berjalan di televisi, atau bahkan iseng membaca tulisan yang jaraknya sekian meter dariku hanya untuk menguji apakah rabun jauhku bertambah dari hari ke hari.

Lewat jam sepuluh, banyak raga beranjak pergi. Ada yang menggerutu dengan penjaga loket, penjaga parkir, bahkan menggerutu lewat media sosial yang terhubung dalam gawainya. Mereka katakan, menunggu itu tidak enak. Mereka yang seharusnya bisa mengerjakan pekerjaan lain, dipaksa habis waktunya untuk menunggu tapi tak kunjung temu. Yang pergi karena tidak nyaman juga ada. Katanya, terlalu panas. Kursi yang disediakan untuk duduk tidak nyaman. Tidak ada fasilitas yang ditunjang untuk menunggu.

Apakah menunggu merupakan sebuah hal yang membuat tidak nyaman?

Jelas! Ketidakpastian akan waktu. Yang dijanjikan tak kunjung datang. Yang diharapkan hanya menguap seperti seorang ngantuk yang membunuh waktu lewat tidur.

___

Ah, nomorku sudah terpanggil. Jadi lebih cepat karena banyak yang memutuskan pulang. Tidak selamanya, menunggu itu hal yang buruk.

Hanya karena semua itu mungkin datangnya tidak secepat dan semudah yang ku bayangkan, aku selalu percaya, sesuatu yang tepat dan baik itu memang pantas untuk ditunggu.

Semoga.

___

Tulisan ini adalah bagian dari 30 Hari Bercerita di Instagram, dimana saya cukupkan menulis disana di hari ke-15. Rumah saya bukan di sana, ternyata. Saya lebih suka satu arah disini. :)

02/01/18
-G-

Izin Merayakan Kehilangan

Sampai kapan pun, bahkan mungkin sampai berakhirnya kehidupan ini, saya akan tetap menjadi seorang yang tak peduli apa kata orang lain. A friend of mine said that i'm the best pretender that she ever seen. Saya akan tetap menjadi saya yang enggan mati sebelum segala impian saya terwujud, bertahah hidup hanya dengan cinta yang singgah tapi saya tak tahu apakah kau sungguh.

Benar, saya lah si lemah yang berlagak egois ingin memiliki semua. Saya yang tak pernah mengerti kesedihanmu. Kamu yang selalu katakan bahwa elegi ini hanya sekejap; sesaat lagi kamu akan pulang. Pulang kemana? Kepada saya, iya kan? Bukan seharusnya seperti itu?

Saya masih menjadi saya yang kau kenal, tak berubah sejengkalpun walau seringkali saya ketakutan akan emosi saya yang seketika memuncak marah lalu menangis sejadi-jadinya. Saya masih jadi si egois yang selalu ingin segala tempat pertama yang kita datangi harus bersama. Saya masih jadi si egois yang selalu tak paham alur pikiranmu yang ingin obrolan tenang namun saya selalu menuntut bicara rasa. Ya, saya masih jadi si egois yang menuntut kamu memilih, saya tak bisa berjalan dengan kepala yang ingin meledak karena cemburu tapi hati ini masih ingin bersamamu, dan tak ingin mundur sedikitpun.

Saya tak meminta kamu untuk merasakannya, sungguh. Kamu takkan kuat.

Sayang, kau laki-laki yang tetap akan membara meski hatimu mulai padam untuk saya. Saya pernah membaca sebuah prosa darinya, bahwa dia tidak akan meninggalkanmu karena kamu dunia baginya. Tapi pernahkah kau tahu, bahwa kau adalah oksigen untuk saya. Tanpamu, saya mati.

Saya takkan pergi; saya katakan, saya takkan pergi. Meski saya tahu, dengan keegoisan saya, malah kamu yang takut. Kamu yang lari. Kamu yang memilih sepi padahal hatimu hanya kalut untuk memilih. Tapi lihat lah aku, dengan pilihan sampai mati yang ku pilih. Dengan pertahanan saya untuk selalu menjadi rumah untukmu sambil menyapu halamannya, mengusir siapapun yang akan datang. Selesaikan, dan pulanglah kesini, sayang. Kita rayakan kemenangan walau saya tahu itu menyakitkan untukmu. Maka izinkanlah, aku merayakan kehilanganmu dengan cinta kita yang akan semakin kuat. Dengan kapal yang lebih kuat mengarung di samudera lepas; abadi.


03/01/18
-G-

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top