Aku (Masih) Ingin


            Saat ini aku berjalan dalam kerinduan. Kerinduan akan semua tawa bahagia kala kejutan-kejutan kecil seperti memberikan kue-kue untuk bekal kuliahku, atau membuatkan susu hangat menyambut pagi harimu. Atau hanya kecup mesra keningku sembari berkata bahwa kau mencintaiku. Kerinduan akan gelas-gelas kopi kita dalam gelap malam menanti fajar – kencan terindah yang selalu buat senyumku merekah kala kupejamkan mata dan membayangkanya kembali.


            Setapak demi setapak langkahku semakin cepat, berlari menuju saat dimana ku temukan sorot matamu teduh merengkuhku dalam hangat pelukmu. Sorot mata yang selalu yakin akan selalu menemaniku hingga ku terbatuk menua dan mati dalam pelukmu. Berlebih, namun aku yakin kaulah sorot mata yang ku ingin temui saat pagi menjelang dan mata yang ingin ku kecup kala mentari terlelap dalam singgasananya. Kaulah, sorot mata yang selalu menghangatkan dinginku, menenangkan tangisku, serta meyakinkanku maju.

            Kali ini ku paksakan masuk ke dalam ingatanku yang makin dalam. Merasakan rengkuhan tanganmu yang selalu siap menjagaku kala jalanku mulai tak benar. Jemarimu yang selalu bertaut di jemariku – untuk nyatakan pada dunia bahwa aku milikmu. Jemarimu yang siap mencubit pipiku gemas atau menepuk keningku perlahan kala aku bertingkah bodoh didepanmu. Merasakan jemarimu yang siap menarik kepalaku ‘tuk curi kecup keningku.

            Tubuh tinggi dan letup dadamu yang selalu ku rindukan. Bahu yang selalu siap menjadi tempat ku meneteskan tangis bahagia atau sekadar bercerita duka. Bahu yang selalu menjadi tempat ku bersembunyi kala ku takut dari dunia serta kenyataan yang pahit. Punggung yang membuatku ingin berlari dan berloncat memeluk. Punggung lapang yangtak pernah ku nikmati saat kau berjalan pergi.

            Aku memutar arah; kembali berjalan menuju realitas setelah puas dengan euforia kemarin. Mendapatkan kamu yang sorotmu mendingin. Seakan enggan menatap serta menghangatkan lagi. Teduh yang ku miliki dari sorotmu mulai hilang menjadi beku. Senyumku tak lagi cairkan, bahkan rengkuhku tak lagi terangkan sepasang mata indahmu.

            Tak bual, aku pun kecewa pada sikapmu yang mulai membangun dinding tinggi di antara kita. Segala pertemuan tak lagi memiliki kesan di matamu. Benar katamu, setiap pertemuan kita yang jarang selalu saja diisi oleh pertengkaran kecil atau masalah lalu yang tak terselesaikan. Semakin jauh kita berjalan, entah mengapa semakin banyak yang kau sembunyikan. Aku mempercayai segala tentang dirimu, yang ternyata kau punya sisi lain yang kau sembunyikan. Seakan semua orang menghujamku dengan masa lalumu, kau meyakinkanku bahwa tak ada apa-apa lagi dengan yang lalu. Namun mengapa, keyakinanmu kau dustai dengan pertemuan yang kau sembunyikan?

            Aku tak ingin, sayang. Aku masih ingin berjuang. Aku masih ingin membagi segala cerita bodoh dan konyolku di hari ini, masih ingin menikmati punggungmu yang membuatku selalu ingin berlari memeluk. Masih ingin menatap dengan lekat sorot mata teduh yang selalu menenangkan – meyakinkan bahwa aku akan aman bersamamu. Aku masih ingin mengabadikan dirimu dalam segala gambar ke penjuru alam. Aku masih ingin merasakan sentuhan jemarimu menyentuh keningku, dengan senyum jenakamu menggodaku. Aku masih ingin menikmati gelas-gelas kopi sembari menikmati rembulan turun tahta berganti fajar yang siap menyembul dari langit gelap Bandung atau belahan bumi manapun, aku masih ingin bersamamu. Aku masih ingin melihatmu menikmati permainanmu atau berkutat dengan pekerjaanmu hingga kau tertidur lelap dan bermimpi tentang kita.

Aku ingin, ingin sekali,
Melihat sorot mata teduhmu saat ku bangun dari tidur, serta mengecup mata mu kala larut malam datang.

Pegang jemariku lagi
Aku masih ingin, sayang.


Aku ingin.
Bersamamu.

Semoga, begitupun denganmu.


23/01/18
-G-

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top