Aku dan kamu bagaikan dua petarung yang bertemu dalam suatu pertandingan. Tanpa ragu, aku akan melawanmu dengan segala kemampuan dan jurus yang aku punya. Takkan ada celah untukmu melawan. Aku tidak ingin dan tidak akan mengalah karena alasan cinta. Bukan aku tak mau kamu menang, hanya saja aku ingin kamu benar-benar berjuang sebagai pemenang.
Aku ingin mencintaimu dengan tangguh, lewat dua tangan saling menggenggam berpeluh, dengan sekuat tenaga untuk sama-sama bertumbuh. Walau waktu memaki mundur, cinta ini masih bergeming untuk maju.
Kau ingin melawanku? Silahkan.
"Tidak mau menyerah saja?"
Tidak. Belum. Tidak sekarang.
Aku percaya jika manusia didesain keras kepala, meyakini apa yang diyakini sendiri, mempunyai harapan yang terlihat bodoh dan terus mencoba meski terlihat sia-sia. Diberkahi logika meski sering mendadak tak berguna oleh sebab perasaan absurd yang lebih diunggulkan; aku sebut cinta.
Terkait jera, aku pun percaya jika ada batas untuknya, hanya aku sendiri yang akan tahu batasnya. Mungkin, di saat logika mendadak berfungsi lebih baik, tersadar bahwa kamu takkan lagi bahagia di sini, atau karena aku jenuh menunggu kamu menoleh sedikit kepadaku.
Yang jelas aku belum jera, aku belum jenuh. Entah belum, atau tidak mau. Aku masih ingin mencoba, aku masih ingin kita bertarung. Dalam Tuhan dan ujar semesta, aku meyakinkan dirimu.
Hingga pada akhirnya, mungkin aku yang tak mendapat sesuatu yang aku ingini, hanya terlalu jumawa menganggap kamu akan kembali,
ku yakin suatu hari nanti aku akan bertarung sendiri,
melawan ego yang masih memantik nyala untukmu.
Dalam genggaman-Nya, aku kalah dan mati,
Menelan rasa yang ku kunyah hingga nanti.
Menelan rasa yang ku kunyah hingga nanti.
Post a Comment