Entahlah, kebetulan apa lagi yang akan tercipta pada tiap-tiap detik yang akan kita lalui?
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS 1:6-7)
Antologi kata; Analogi rasa; Jemari bersabda.
Sudah tiga jam berlalu, mengocok-ngocok isi kepala agar segera mengeluarkan muntahannya yang sedari tadi hanya membuat mual tapi tak kunjung berhasil. Entah apa yang saya inginkan beberapa waktu belakangan ini, entah apa yang saya pikirkan juga saya tak mengerti. Pertanyaan tentang selesai kemarin pun tak juga terjawab. Lagu Duta dan kawan-kawan yang sudah tiga kali putaran masih bisa membuat saya menatap layar kosong tanpa tahu mau memulai dengan huruf apa.
Akhirnya, saya putuskan semuanya kembali mengalir; mencoba agar runtutan emosi yang memberatkan kepala ini tercurah sudah.
Saya sedang merasa gagal. Gagal mewujudkan mimpi saya, gagal memenuhi harapan-harapan yang selalu saya rapalkan di sela dini hari. Saya merasa gagal menjadi diri saya sendiri, karena saya tidak tahu apa yang saya inginkan sesungguhnya. Tidak merasa berguna, tidak merasa bermanfaat untuk orang lain. Tidak punya prestasi untuk dibanggakan dan tak punya lagi harapan yang saya ingin capai.
Apa yang sebenarnya saya inginkan?
Saya hanya menjadi saya yang selalu ingin mengabdi dan berbagi, tapi sepertinya apa yang saya bagi selama ini tidak ada manfaatnya untuk diri saya sendiri, apalagi lingkungan saya. Saya tidak butuh prestasi atau apresiasi sih, tapi saya masih merasa kurang untuk orang lain. Saya punya mimpi-mimpi konyol yang masih ingin saya capai, saya punya beberapa harapan yang ingin saya penuhi sebelum 25 tahun. Selama ini saya hanya berpikir, bagaimana cara mewujudkannya, tapi aksi saya masih minim bahkan cenderung nol. Jangan sarankan saya untuk 'berbagi mimpi' kepada orang lain, karena saya harus achieve sendiri. Saya gak mau lagi berbagi mimpi untuk segala yang belum pasti, takut. Pamali. Nuhun,
TAPI SAYA JUGA TIDAK TAHU MAU APA, SAUDARA-SAUDARA!
Sebal ah, dengan diri sendiri. Rasanya kok nggak bisa punya pencapaian yang keren, setidaknya saya sendiri yang anggap itu keren hahaha. Saya mau keren untuk diri saya sendiri, supaya suami saya nantinya nggak malu punya pasangan yang kalau ditanya orang "kerjaannya apa?" jawabnya cuma ketawa. Supaya nantinya saya bisa cerita sama anak saya kalau saya pernah keren dengan apa yang saya lakukan. Bisa jadi contoh dan motivasi supaya anak saya kalau gak mau ngerjain peer gak bilang "lah ibu sih dulu juga males!" hahahaa. Ini ketawa saya yang sebenarnya saya nggak ketawa :')
Bagaimana ya, biar saya bermanfaat?
Have you ever looked into someone’s eyes, and for a split seconds you felt as if you were lost in some kind of time travel machine? It brought you to far distance in the future - unburdened future.
I found
Those innocent and sparkly eyes, and suddenly everything frozen and i was thrown back and forth into a distant space and time.
But i'm afraid --afraid of losing, over and over and over again.
Beberapa waktu ini, saya dibayangi dengan kalimat "selesai dengan diri sendiri". Debat cagub Jabar ada yang menyinggung tentang selesai dengan diri sendiri, saya lupa paslon yang mana. Pun seulas cuitan tentang Presiden kita yang sudah selesai dengan dirinya sendiri memunculkan lebih banyak tanya dalam pikiran saya. Saya tidak mengerti apa maksud dari selesai atas diri kita, apa sih yang diselesaikan? Pekerjaan? Hobi yang minim manfaat? Passion? Atau apa ya, bingung.
Ya, saya dilanda kebingungan dengan kata-kata selesai.
Sempat bertanya kepada orang terdekat, beliau mengatakan bahwa selesai dengan diri sendiri berarti tidak lagi memikirkan diri sendiri, selfless lah. Tapi saya lagi-lagi tidak mendapat poinnya, apa yang selesai? Apa yang diselesaikan?
Jika yang dianggap selesai adalah passion kita, lalu bagaimana dengan cita-cita yang masih ingin dicapai? Lalu bagaimana dengan segala pengalaman berbagi ke penjuru negeri jika kita merasa sudah selesai tapi itu semua belum terwujud dengan maksimal?
Teman saya, saat saya tanyakan apa itu selesai dengan diri sendiri, dia hanya mejawab "Selesai ya selesai aja udah. Kuliah, nilai bagus, kerja sesuai passion, gaji sesuai ekspektasi, karya selalu diapresiasi kantor, lalu mau apa lagi hidup ini? Kawinlah sudah". Lah saya bingung :))))
Saya tetap nggak mengerti, apa maksudnya. Lalu kalau sudah kerja sesuai passion, apakah dia tidak ada mimpi lainnya yang harus dikejar? Apakah dia nggak mau punya pencapaian atas apa yang dia lakukan selama ini, contohnya saya yang masih merasa ingin mengabdi untuk tuhan, bangsa dan almamater negeri ini dengan mengajar, mengajar dan mengajar. Bertemu dengan berbagai macam anak-anak di pelosok negeri, menjadi relawan sana-sini sebagai bentuk pengabdian diri. Saya masih ingin diapresiasi dan mendapatkan pekerjaan yang sekiranya cocok dengan saya. Masih ingin ikut kelas Barista supaya bisa serve kopi yang enak untuk diri sendiri dan sekitar saya.
Saya juga masih ingin menginjakkan kaki kesana-kemari; naik-turun gunung yang tak peduli bersama teman atau sendiri, sekadar untuk apresiasi diri. Saya senang berada di puncak gunung bukan untuk ketenaran di media sosial, melainkan untuk kontemplasi sudah sejauh mana kaki ini melangkah.
Setiap langkah yang saya pijak beberapa waktu belakangan ini menjadi penuh dengan kalimat selesai dengan diri sendiri. Apa yang diselesaikan? Apakah analoginya sama dengan seorang anak yang tuntas mengerjakan PR dari gurunya lalu ia mengerjakan PR lainnya? Kalau begitu, tidak ada selesai yang benar-benar selesai dong?
Lalu saya jadi bertanya dengan diri saya sendiri, kapan saya selesai untuk mengeluh? Kapan saya selesai untuk mengomentari seisi dunia, dimana orang-orang sudah selesai dengan PR-nya dan bersiap menerima PR baru?
Saya sempat dilanda krisis yang tak perlu saya ceritakan disini, intinya gugurlah sudah semangat menggebu saya untuk menjaring bisnis kembali. Bukan rasa tidak percaya diri yang datang, melainkan rasa entahlah-apa-namanya, membuat saya jadi malas memulai bisnis dalam bentuk apapun hingga detik ini. Tapi biar bagaimanapun, saya tetap membutuhkan pekerjaan sampingan diluar pekerjaan kantoran saya. Saya butuh pasangan untuk berkarya, tak mau lagi sendirian. Saya senang melihat saya yang aktif dan selalu tahu apa yang saya mau, tidak seperti saat ini dimana saya hanya mengeluh kenapa saya tidak lagi produktif berkarya. Saya senang menghadapi saya yang bisa bergadang untuk pekerjaan sampingan dan paginya harus bersikap seolah tidur cukup dan bertemu atasan di kantor.
Hingga saat ini, saya selalu bingung jika ditanya "lo mau ngapain?", ya ngapain ya? Tidak tahu. Saya hanya menunggu waktu memberi PR kepada saya. Padahal harusnya, saya yang mengejar 'tugas' tersebut. Saya yang harusnya bangun. Saya yang harusnya berkarya dan merintis lagi apa yang telah hilang: kepercayaan diri saya untuk berkarya.
Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan membuat saya stress sendiri. Saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena saya memang tidak tahu saya mau ngapain! Saya hilang kendali, bukan karena orang lain yang hilang, tapi saya yang melenyapkan kendali saya, hingga saya tidak tahu bagaimana caranya mengemudi atas diri saya sendiri. Dan saya memilih untuk memendam itu semua sendiri, saya tidak mau kebimbangan saya malah akan menyulitkan siapapun yang berada di sekeliling saya. Kasihan mereka, memikirkan diri mereka sendiri saja sudah pusing, bagaimana jika harus memikirkan saya yang jelas-jelas tidak penting juga untuk dipikirkan hahahah.
Selesai juga berarti sudah settled dengan segala hal personal, termasuk manajemen stress dan pengendalian diri. Hidup akan kebanyakan warna dan naik-turun jika kita terkadang masih berlaku tidak dewasa (baper), moody, dan I-Need-My-Me-Time.Apa yang saya cari? Apa yang saya mau? Apa yang saya inginkan? Bagaimana saya harus menyelesaikan diri saya jika saya belum merasa berguna untuk siapapun hingga saat ini? Bagaimana jika ternyata saya terlalu mencintai diri saya sendiri dalam hal bermalasan tanpa ada harapan untuk maju? Bagaimana jika sekeliling saya tak ada yang bisa membantu saya menemukan jawaban selesai atas kekacauan yang sudah terjadi?
1-
pada jendela kaca ular besi yang terbuka setengah