Jam sepuluh malam, dalam perjalanan menuju rumah. Pekerjaan yang harusnya saya selesaikan lebih dulu terhalau oleh pikiran-pikiran menguras tenaga.
Kali ini, tentang apa yang ingin dicapai dalam hidup.
Apa sesungguhnya motivasi manusia untuk hidup? Nampak beberapa manusia --- bahkan sebagian besar termasuk saya, tidak tahu apa yang ingin dicapai dalam hidup.
Lusa kemarin, saya melihat sepasang suami-istri muda, dengan wajah lelah duduk di dalam kereta menuju Bogor usai memikul televisi baru yang sepertinya dibeli di daerah Glodok. Raut wajah senang terpancar, namun penat lebih cenderung ditunjukkan oleh pasangan itu.
Sambil memegang televisi barunya, sang istri sambil memejamkan mata lunglai bertumpu pada bahu suaminya --- yang juga lemas dan lebih banyak menunduk. Entah apa gerangan yang ada dalam pikiran mereka.
Saya menduga-duga, apa sesungguhnya masalah yang mereka berdua hadapi? Apakah mereka bingung membayar cicilan televisi tiga puluh dua inci yang baru saja mereka beli? Atau mereka salah perhitungan harusnya mereka membeli mesin cuci atau kompor terlebih dahulu? Atau mereka sebenarnya hanya kelelahan menuju rumah yang tak di pusat kota (seperti banyak keluarga baru yang memilih rumah di daerah suburban Jakarta seperti Depok, Tangerang, Bekasi)?
Tak terasa saya menitikkan air mata membayangkan keluarga kecil tersebut. Membayangkan bagaimana masa depan saya saat berkeluarga nantinya. Saya membayangkan bagaimana nantinya berkutat dengan kalkulator bersama pasangan hanya untuk mempertimbangkan beli ayam atau telurnya, atau membatasi listrik rumah dengan tidak menyalakan hair dryer setiap harinya, karena watt-nya cukup besar, berdampak pada token yang cepat habis.
Tidak, tidak.. bukan saya tidak mau hidup susah. Bukan pada bagaimana berjuang untuk hidup susahnya yang saya bayangkan (terima kasih, papa dan mama yang memberi saya ruang untuk hidup hemat sejak dulu), tapi yang saya bayangkan adalah betapa masalah akan terus hadir, sendiri ataupun berdua. Saya yakini, menurut kitab dan tetua katakan dimana menikah itu membuka pintu rezeki (dan rezeki tidak hanya berdasarkan uang).
Melihat pasangan tersebut, saya sadar bahwa pada akhirnya hidup hanyalah tinggal sendiri atau berdua. Tidak lagi cerita 'dapur' bisa diceritakan kepada sahabat, sekalipun selalu bersama sejak kecil. Mind your own f*ckin' relationship, they said. Tidak lagi ada drama-drama pasangan ngambek tidak mau makan dan pasangannya menjadi cenayang menerka pasangannya ingin apa. Semua harus dibicarakan. Memiliki teman untuk beribadah hingga bergosip. Tidak bisa lagi, pasangan ceroboh masakannya gosong dan uring-uringan seharian.
Saya membayangkan, kedepannya akan terus ada gejolak hidup, dan begitu terus hingga Tuhan panggil saya untuk selesai bertugas di dunia.
Nah, tugas apakah yang Tuhan inginkan saya untuk jalankan sebaik-baiknya? Apakah saya akan jadi pengusaha yang bisa saya remote kerjaannya dari rumah sehingga anak saya kelak tidak kehilangan masa tumbuh kembangnya? Atau saya akan jadi pekerja kantoran, kembali duduk di bangku agency melayani klien yang maha benar, atau malah duduk di bangku Chitose dan mendalami pelajaran new media? Atau sebenarnya, Tuhan hanya minta saya kembali ke masyarakat dan hidup bersosial, membuat kampanye dan juga menjadi tenaga pengajar bagi adik-adik yang membutuhkan? Saya belum memutuskan.
Jika harus berbagi hidup, dengan siapakah pasangan saya nantinya? Apakah saya harus sakit kepala dengan tingkah pasangan yang tidak mau cuci kaki sebelum ke kasur, atau sebenarnya saya pun juga menyebalkan di mata pasangan saya kelak?
Lagi-lagi, ragu apa yang baru saja saya uraikan? Untuk apa menakuti sesuatu yang belum tentu akan terjadi?
Post a Comment