Dua Puluh Empat dan Segala Prasangka



Yap, betul sekali saudara-saudara. Tahun ini saya berusia dua puluh empat tahun. Sebuah usia dimana sebentar lagi sudah bukan dewasa-muda, melainkan setengah tua hahaha.



Usia tidak pernah menjadi momok yang menyeramkan untuk saya, apalagi terkait hal yang berbau pernikahan dan kesuksesan. Dimana, orang-orang seusia saya, bahkan mungkin anda yang sedang membaca cerita ini pun memiliki ketakutan pada quarter life crisis.

Banyak hal yang terjadi di kehidupan saya belakangan ini. Teman-teman sekeliling yang mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing (karir, keluarga, dsb) hingga lingkar terdekat saya yang hanya bersisa keluarga. 

Terlintas saya berfikir tentang keluarga. Iya, berkeluarga. Sesiap apa saya untuk membagi separuh hidup saya dengan orang lain?

Berkeliaran di beranda media sosial terkait segala rencana berkeluarga, memesan katering, dekorasi yang unik dan menarik. Begitu pula, kehidupan setelah menikah. Merencanakan sesuatu, memiliki anak, yang notabene di pikiran saya hanya ada tiga hal: Uang, uang dan uang.

Rezeki memang tidak akan kemana. Iya, saya mempercayai Tuhan dan pikiran saya. Tuhan akan mencukupkan selama saya mampu berusaha dan berkembang. Tapi jika dibandingkan dengan realitas saat ini, berapa sih tabungan yang saya punya untuk hidup dengan pasangan saya kelak? 

Saya ingin hidup yang lebih logis. Menikah bukan perihal ndusel bersama, tapi merancang hidup dan meghabiskan hidup dengan orang yang nyaman.

Kelak, saya akan meminta pasangan saya untuk membuatkan proposal dan segala yang saya selama ini mungkin tidak ketahui, seperti proyeksi keuangan hingga hutang kepada kolega. Hal ini untuk mencegah agar kedepannya kami tidak dihantui masalah dan/atau dapat kami selesaikan bersama. Proyeksi keuangan juga perlu, seperti uang masuk dan keluar selama ini untuk apa saja. Saya harus pastikan semua terjabarkan dengan baik. 

Terkait uang suami dan uang istri, saya tidak meminta pasangan saya nantinya untuk memberikan seluruh uangnya pada saya, tapi terkait cashflow dan keperluan kami berdua harus sama-sama terbuka. Menyisihkan satu tabungan untuk belanja bulanan sepertinya akan lebih baik dan autodebt dari tabungan kami masing-masing. Saya sadar, bahan pokok mahal. Yakali cuma mau dimodalin laki aja. Itulah sebabnya, saya mau kerja. Saya nggak mau cuma mengandalkan pasangan saya kelak.

Kemudian, saya ingin sekali pasangan saya dapat mengizinkan saya untuk bekerja, baik di kantoran maupun dirumah.

Dahulu, saya memiliki keinginan untuk membuka usaha sendiri atau bekerja paruh waktu saja yang dijalankan dari rumah, semisal nantinya saya memiliki anak. Tapi saya pun ingin bersosialisasi dengan dunia luar, bertemu dengan orang-orang baru. Saya mengharap pasangan saya kelak mengizinkan perempuan yang tidak bisa diam ini untuk bebas memilih pekerjaan apapun yang layak baginya, selama masih manusiawi. Bekerja di rumah maupun kantoran, semoga kelak ia dapat mengerti bahwa perempuan harus beraktivitas, tidak hanya memikirkan dapur-sumur-kasur.

Plus, menerima apa adanya bahwa saya tidak bisa dandan dan mau menerima saya apa adanya :((((  hahahhaa

Saya pun ingin pasangan yang terbuka, yang kelak dengan bangganya mengenalkan diri saya pada rekan-rekan maupun keluarganya dengan baik dan menjaga segala rahasia atau aib kami berdua untuk cukup didengar oleh telinga kami, tidak untuk orang lain sekalipun keluarga. Maka dari itu juga, saya mau bekerja dan beraktivitas di luar, supaya yaaa kalau dipromosikan kepada teman atau keluarga, ada lah nilai plus nya. Udah nggak cakep, ngga ngapa-ngapain dirumah, sedih amat. 

Terakhir, saya membutuhkan pasangan yang ikhlas sampai mati saya bawelin :( saya sadar diri kadang saya sangat cerewet dan bahkan cerita hal-hal yang kurang penting, mama saya saja sudah lelah sepertinya menanggapi cerita saya. Kalau saya bawel terus pasangan saya nggak mau mendengar cerita receh saya, ibarat dalam penjara seumur hidup :(((

Lho, kenapa keimanan nggak dimasukkin disini?

Menurut saya, keimanan itu kewajiban pasangan satu dan lainnya untuk saling mendukung, menjaga dan membawa ke jalan yang lebih baik. Tidak perlu berharap yang shalatnya kenceng lah sampai sunnah dan qunut, ikut majelis, ataupun hafal kitab-kitab. Saya butuh pasangan yang mau belajar, siap belajar bersama, dan juga mengajarkan. Saya pun yakin, jika keimanannya kuat pun dia tidak perlu meminta kesediaan saya, melainkan langsung weh lah ke mama urangBrave enough?


Duh, kenapa jadi bahas pasang-pasangan kawin-kawnan sih?

Ya ini karena saya lagi nggak bisa tidur aja. Pikiran kemana-mana, dan sepertinya saya perlu menulis ini sebagai pengingat bagi siapapun kelak yang bersedia (anjay sedih bgt w) , setidaknya kamu tidak berjuang sendirian. Saya sedang memantaskan diri.

Namun jika kelak saya dipertemukan lebih cepat, semoga Tuhan memberi jalan. Seperti doa yang selalu saya pinta:
Jika ia, pantaskanlah. Jika bukan, lepaskan dan ikhlaskan,

Bukankah mencapai ikhlas ialah tingkat keimanan yang paling tinggi?



Pada perjalanan mesin waktu
membawa kita pada dialektika
Apakah rima menjadi satu
atau bukan kamu, cerita dibalik kita


😊

Untukmu:

Untukmu:
Back to Top