Lelaki itu mengarungi senja, sampai subuh pun tak kuasa menangguk nyinyiran gulita yang segera memadam, kecuali di lorong-lorong pusat semesta yang tak terjamah badai para juru damai.
Ketika senja tak lagi ganjil, sesekali karungnya pun disingkap, jangan-jangan senja telah masuk ke dalam. Meski sarung tetap yang itu itu juga, menemani memunguti ujaran ujaran benci yang semakin menjadi barang berharga, tiada tertulis harganya. Tidak seperti mutiara, berapa pun nilai karat tetap saja terbeli. Harganya telah terpajang terang di tempat pedagang barang benda berharga.
Lelaki itu semakin menjadi jadi, ribuan senja diambilnya satu persatu sekedar tahu berapa karung sudah yang berhasil dikarungi. Meski dia mulai tercerahkan bahwa usahanya tak mampu untuk beli apa-apa, yang ia pikirkan hanya bagaimana menyambung nyawa dari detik ke detik.